Jakarta – Akademikus dan filsuf Indonesia, Rocky Gerung, memberikan apresiasi terhadap kebijakan pembekuan penggunaan sirene berlebihan yang dikeluarkan oleh Kakorlantas Polri, Irjen Pol Agus Suryonugroho. Langkah ini dinilai Rocky sebagai cerminan kejujuran dan kebijaksanaan institusi kepolisian dalam merespons keresahan masyarakat.
“Pada akhirnya kita menemukan kejujuran dan kebijaksanaan oleh Kakorlantas pak Agus, yaitu membekukan sirene tetot-tetot segala macam,” ujar Rocky Gerung.
Rocky menyoroti makna filosofis dari sirene yang dalam mitologi Yunani melambangkan bujuk rayu dengan suara yang merdu. Namun, ketika bunyi sirene sering terdengar dan mendominasi kota, yang muncul bukan ketertiban melainkan kebisingan.
“Suara merdu bila dipaksakan jadi kebisingan. Pak Agus tepat, sebelum dituntut publik lebih jauh, kepolisian berani mengevaluasi diri. Hasilnya, hentikan penggunaan sirene sembarangan,” tegasnya.
Menurut Rocky, langkah cepat dari Kakorlantas Polri ini menunjukkan kepemimpinan yang peka terhadap kegelisahan masyarakat. Penggunaan sirene tanpa aturan bukan hanya menimbulkan kebisingan, tetapi juga menjadi sumber stres bagi para pengguna jalan setiap harinya.
“Mereka yang memanfaatkan fasilitas itu membuat publik terganggu. Setiap hari orang jadi stres di jalan hanya karena tetot-tetot,” tambahnya.
Lebih jauh, Rocky mengajak semua pihak untuk menghargai ruang publik dengan cara yang lebih beradab. Ia menegaskan bahwa jalan raya seharusnya bukan menjadi arena pamer kekuasaan, melainkan ruang peradaban yang saling menghormati.
“Sirene mestinya bunyi merdu, bukan menakutkan. Saya setuju bahwa tetot-tetot dihentikan mulai hari ini. Selanjutnya kita ingin mendengar nyanyian masyarakat sipil bahwa jalan raya artinya jalan peradaban,” pungkas Rocky Gerung.