Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polritengah membidik sejumlah penyedia layanan pinjaman online (Pinjol) yang takterdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) alias ilegal. Polri mengibaratkan kegiatan pinjol ilegal tersebut seperti preman yang meresahkan masyarakat.
Jakarta – (22/06/2021). Ruang gerak penyelenggaran Pinjol ilegal akan segera berakhir. Penertiban akan segera dilakukan lantaran selama ini masyarakat banyak dirugikan oleh kerja-kerja Pinjol yang memberatkan nasabah.”Sama seperti disampaikan beberapa waktu lalu, kasus preman, ini kasus pinjaman online (pinjol) pun meresahkan masyarakat,” kata Wadir Tipideksus Kombes Whisnu Hermawan Febrianto kepada wartawan di Mabes Polri, Jakarta.Lebih lanjut Whisnu mengatakan, Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komisaris Jenderal Agus Andrianto bahkan sampai meneken surat telegram kepada jajaran kepolisian di daerah untuk segera menangani perkara-perkara pinjol di daerah. Dia menyampaikan, menurut data OJK, sampai saat ini ada sekitar 3.000 pinjol yang tak terdaftar.
Kasus-kasus pinjol seringkali meresahkan masyarakat karena korban-korbannya kerap mendapat teror oleh penagihnya alias debt collector. Beberapa kasus, para penagih menyebarkan informasi peminjam kepada kerabat-kerabatnya tanpa persetujuan.Salah satu kasus yang diungkap Bareskrim ialah perusahaan Rp Cepat yang diduga dikendalikan oleh warga negera China. Perusahaan ini mengambil data pribadi secara ilegal.
Kasubdit V Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Kombes Ma’mun mengatakan bahwa pelaku menggunakan aplikasi canggih asal China sehingga dapat menyedot data-data nasabahnya. WN China yang menjadi pengendali itu masih buron. Polisi baru menangkap lima orang penagih.
Teknologi canggih
“Kalau soal teknologi. luar biasa sekali memang teknologi dari negara tetangga kita itu (China). Aplikasinya ini enggak hanya untuk mendaftar orang, tapi juga sudah nyedot dan bisa ambil data yang ada di nomor-nomor yang dia mau,” kata Ma’mun di Mabes Polri, Jakarta.
Mereka, lanjut Ma’mun, menggunakan metode pemalsuan data telekomunikasi sehingga dapat menyedot data-data penting seperti nomor kontak. Nantinya, data tersebut digunakan untuk meneror korban.”Misalnya, si A telah melakukan pinjaman di sini, bahkan ada yang lebih kasar lagi yang sedang kami selidiki lebih jauh, sudah fitnah sifatnya dan ini lebih meresahkan,” ujarnya menambahkan.
Dalam perkara ini, para tersangka dijerat Pasal 30 Jo Pasal 46 dan/atau Pasal 32 Jo Pasal 48 UU Nomor 19 Tahun 2016 Tentang ITE dan/atau Pasal 62 ayat (1) Jo Pasal 8 ayat (1) huruf f UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.Mereka juga dijerat dan/atau Pasal 378 KUHP dan/atau Pasal 3 atau Pasal 4 atau Pasal 5 atau Pasal 6 atau Pasal 10 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
Dalam beberapa kasus lain, polisi juga menemukan ada pinjol yang mengirimkan foto-foto vulgar dan data pribadi milik peminjam kepada khalayak luas di media sosial. Sehingga, peminjam merasa tertekan.”Bahkan sampai ada yang stres akibat pinjaman ini tidak benar,” tambahnya.
Korban seringkali tak dapat membayar pinjamannya karena dicekik oleh bunga yang terlampau besar. Kasus-kasus pinjol ini, kata dia, telah memakan banyak korban.”Makanya kami langsung diperintahkan oleh Bapak Kabareskrim untuk membuat telegram ke jajaran tentang pola penanganan dan antisipasi tentang pinjol yang ilegal supaya tidak ada lagi masyarakat yang di-bully,” jelasnya.
Saat ini, kepolisian pun tengah menyelidiki sejumlah perusahaan pinjol tak berizin yang beroperasi di Indonesia. Namun, penyidik belum dapat membeberkan lebih lanjut dengan alasan untuk kepentingan penyelidikan.
Mengapa Pinjol Diminati ?
Memprihatinkan sekali bila melihat begitu banyaknya pinjol ilegal yang bergentayangan dan mencari mangsanya di Indonesia. Sebagai contoh, baru-baru ini mantan guru TK di Malang, Jawa Timur, Melati, menjadi salah satu korban. Dia diancam oleh debt colector lantaran tidak sanggup membayar utangnya yang dipinjamnya ke 24 aplikasi pinjol berbeda.
Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah mengatakan, salah satu alasan kasus pinjol masih terus berulang adalah karena pontensi Fintech di Indonesia yang masih sangat besar. Dia menyebutkan, data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatatkan bahwa kebutuhan akan kredit mencapai Rp 2.650 triliun, sedangkan yang baru terpenuhi baru Rp 1.000 triliun.
“Kami melihat memang potensi untuk kebutuhan pendanaan masyarakat sungguh besar dan ada gap-nya, dimana tingkat kebutuhannya banyak tapi supply-nya yang sedikit. Ini yang membuat masyarakat tertarik sehingga banyak pasarnya,” ujarnya.
Kemudian faktor pendorong kedua adalah tingkat inklusi keuangan di Indonesia belum berbanding lurus dengan literasi keuangannya. Kuseryansyah menyebutkan tingkat inklusi keuangan di Indonesia baru mencapai 75 persen. Sementara tingkat literasi keuangannya hanya 38 persen. “Masih banyak itu masyarakat kita yang sudah menggunakan layanan keuangan digital tapi enggak mengerti sesungguhnya ritmenya, enggak paham risikonya, bagaimana menjadi bijak untuk mengelolanya. Makanya banyak yang terperangkap di kasus kayak gini,” ungkap dia.
Alasan Kemudahan
Teknologi memang telah banyak memberikan kemudaha untuk kebutuhan hidup orang. Salah satu benih dari perkembangan teknologi adalah munculnya startup financial technology (fintech) yang belakangan juga disebut pinjalan online (pinjol) ini kian hari kian bertumbuh pesat.Tidak hanya dari segi penyelenggara yang menjamur, peminjam-peminjam lewat fintech pun kian marak.Kemudahan dan kecepatan proses peminjamanmenjadialasanbanyak orang memilihmeminjamlewatfintechdibandingkancaralainnya.
“Mudahsajasih. Kan akupinjam di beberapa, ada yang prosesnyaagakmakanwaktu, tapi ada juga yang cepat. Mengajukan, data komplet, enggaksampaisetengah jam dana langsungmasuk,” ceritaDiah Amelia yang merupakan salah satukaryawanswasta di Jakarta.
Diahberceritabahwasemuaberawaldarikeisengannyamencoba salah satuaplikasifintechlewat internet, diakinibahkantelahmenjadiborroweruntukbeberapastartup fintech.
Katanya, memang tidak semua startup fintech bisa mengucurkan pinjaman dengan waktu kurang dari satu jam seperti itu.
Namun dari pengalaman Diah, pengucuran dana fintech yang paling lama pun paling hanya berkisar 23 hari.Diah mengaku selain meminjam lewat fintech, dia pun pernah meminjam Kredit Tanpa Agunan (KTA) di sebuah bank swasta. Hanya saja, proses jauh lebih ribet dan memakan waktu lebih panjang.”Aku ada KTA, tapiituagakrumit. Prosesnya juga agak-agakpanjang. Maksudnyaharusketemu, survei, segalamacam. Makanwaktunyalebihdariseminggu. Jadi kalauuntuk proses lebihcepat, mending fintech, lanjutperempuanberusia 36 tahunini.
Pinjaman dari fintech pun dianggap lebih pasti ketika ada kebutuhan mendesak. Ini dibandingkannya dengan meminjam ke orang lain secara konvensional.Pasalnya, ketika meminjam langsung ke orang lain, orang yang dituju belum tentu memiliki dana yang diperlukan.”Ini istilahnya dengan cepat bisa masuk dananya, tanpa harus bagaimana-bagaimana segala macam,” kata Diah.
Kebutuhan Mendadak.
Senada dengan Diah, Nancy Simbolon, seorang make up artist yang berdomisili di Jakarta Selatan menuturkan, kecepatan memperoleh dana segar yang diperlukan membuat perempuan ini memilih meminjam dari fintech, ketimbang lembaga keuangan lainnya.
“Waktu itutiba-tiba ada booking-an cukupbanyak, dan ada beberapaalat yang sayabelum punya. Jadi harusbelanjadulu. Nah, dananya saya pinjam dari fintech. Jadi buat saya, fin tech inisangat-sangat memudahkan,” akunya.Takbanyak nominal yang dipinjam Nancy dari Uang Teman dan beberapapenyelenggaralain.Dari dua kali peminjaman, totalnya hanya mencapai Rp 1,1 juta. Pada pinjaman pertama, nominal yang diajukanhanya Rp 100 ribu.”Jadi kan dapat rekomendasi dari teman untuk pinjam di situ. Istilahnya coba-cobadulu, kecil dulu. Jadi totalnya Rp1,1 juta,” katanya.
Jangka waktu pengembalian yang diapilih pun terbilang singkat, yakni hanya satubulan. Menurutnya, beragamnya pilihan jangka waktu pengembalian merupakan kelebihan layanan fintech. Peminjam bisa memilih sesuai dengan kemampuannya mencicil pinjaman.Terkait bunga, Nancy tak merasa keberatan. Menurutnya, bunga yang dikenakanmasihdalamtarafwajar.Pengenaanb unga yang cenderung lebih tinggi dianggap sebagai biaya dari layanan yang diterima.
Menjamurnya Pinjol
PenelitiInstitute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima YudhistiraAdhinegaramengakui salah satumudaratmenjamurnyapinjoladalahkemunculanpinjolilegal. MeskiSatuanTugas (Satgas) WaspadaInvestasisudahberulang kali memblokiraplikasinya, pinjolilegalterusbermunculandengannama-namabaru.
“Dalambeberapatahunterakhiriniseiringperkembanganaplikasi digital munculfintechilegal, inikalausudahdiblokirdengansatunama, diaakanmuncullagidengannama yang beda, tapimodelnyatetapsama,” ujarnya.
Iamengatakansebenarnyamudahmengidentifikasipinjolilegal. Salah satuindikasipinjolilegaladalahbungakredittinggi. Namun, di sisi lain iamenawarkankemudahanpencairan dana, sehinggabisasiapa pun yang kepepet, kerap kali mengabaikanitung-itunganbungakredit, asalkan uang cepatditerima.
Bhima mengatakanbelum ada regulasispesifikdariOtoritas Jasa Keuangan (OJK) mengenaibungapinjol. Untuksaatini, ketentuannyabarusebatasdariAsosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) yang menetapkanbatasmaksimalbiayaataubungapinjamansebesar 0,8 persen.
Pembatasan Maksimal Biaya Pinjol
AFPI juga memberikanpembatasanmaksimalbagi para penyelenggarauntuktidakmenerapkanbiayapinjamanberupabebanbunga, denda, administrasi, dan lain-lain sampaihari ke-90. Lebih dari hari ke-90, biaya pinjaman adalah maksimal 100 persen dari pinjaman pokok.Misalnya, pinjaman pokok Rp1 juta, bila peminjam menunggak lebih dari 90 hari, maka peminjam wajib mengembalikan maksimal Rp2 juta. Fintech tidak dapat menagih lebih dari itu. Sayangnya, aturan itu baru sebatas anggota AFPI saja. Sedangkanpinjolilegalmasihmematoktariflebihtinggi.
“Tidak ada aturanspesifiktentangbunga yang wajar, makapinjolbisasajabunganyalebihtinggidaripinjaman bank yang paling tinggirisikonyaseperti BPR ataukoperasi. Bisa jadi ada fintech yang memberikan bunga sampai 40 persen setahun,” ujarnya.
“Tapi yang penting tidak hanya fintech memberikan pinjaman, tapi fintech memberikan edukasi. Misalnya, ada fintech yang memberikan pinjaman kepada ibu-ibu, tapi juga ibu-ibu tersebut diberikan edukasi tentang usahanya,” ucapnya.
Guna mengoptimalkan penyaluran pinjol ke sektor produktif, ia mengatakan ada tiga hal yang harus dilakukan oleh OJK. Pasalnya, alokasi penyaluran pinjaman pinjol yang mengalir ke sektor produktif masih kurang dari 40 persen.
Pembatasan Jumlah Fintech
Dalam mengatasi pinjol ini, ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh OJK. Pertama, OJK hendaknya membatasi jumlah fintech yang bermain di sektor konsumtif dan mendorong pendaftaran dan perizinan untuk sektor produktif.
Kedua, OJK bekerja sama dengan pemerintah memberikan insentif bagi pinjol yang bergerak di sektor produktif, misalnya keringanan perpajakan. Ketiga, pinjol produktif diberikan kesempatan untuk bekerja sama dengan program pemerintah, misalnya pemberdayaan di sektor pertanian, industri manufaktur kecil, dan sebagainya.Selain itu, OJK juga hendaknya memperketat regulasi pinjol guna menekan jumlah pinjol ilegal.
“Dimulai dari perlindungan data pribadi, siapa yang bisa gunakan data pribadi, untuk tujuan apa, lalu atas persetujuan nasabah. Kemudian regulasi bunga yang wajar, itu masih belum spesifik mengatur, lalu denda keterlambatan pinjaman, dan cara penagihan bagaimana caranya tidak gunakan debt collector yang mengancam,” tuturnya.
Sektor Produktif
Kepala Center of Innovation and Digital Economy Indef Nailul Huda mengamini gagasan mendorong pinjol pada sektor produktif. Caranya, kata dia, dengan membuat peraturan yang meringankan bagi penyaluran pinjaman ke sektor produktif.“Selain itu bangun database pelaku usaha dan freelancer yang memiliki risiko rendah dan menguntungkan bagi lender. Pasti akan banyak lender yang tertarik,” ujarnya.
Namun, ia mengaku tidak sepakat apabila dana pinjol digunakan untuk investasi. Sebab, dana investasi sebaiknya merupakan modal yang disisihkan dari pendapatan bukan dari utang. Sebab, debitur wajib melunasi pokok dan bunga, sedangkan investasi belum tentu menuai untung.
“Selain itu ada yang namanya net interest margin (NIM) yang menunjukkan selisih antara bunga pinjaman dengan bunga investasi. NIM di Indonesia relatif tinggi jadi duit utang tidak cocok untuk digunakan sebagai investasi,” katanya
Sekedarinformasi, sepanjang 2020 lalu, sudah ada 1.200 fintech bodong yang ditutup. Satgasdalampernyataanpemblokiranitumenyatakanfintechilegal yang barumerekablokiritumunculmemanfaatkan momentum peningkatankebutuhanmasyarakatmenjelanglebarankemarin.
“Fintech lending dan penawaraninvestasiilegalinimasihtetapmuncul di masyarakat. MenjelangLebarandenganmeningkatnyakebutuhanmasyarakat, kewaspadaanmasyarakatharusditingkatkan agar tidakmenjadi korban,” tuturKetua SWI TongamLumbanTobing.
Mudaratlainnya, lanjut BhimaYudhistiraAdhinegaradari INDEF, belum ada aturanmengenaiperlindungan data pribadi. Sehinggapinjolterlebih yang ilegalbisamengakses data debiturdalam handphone secarailegal.Saat ini, OJK baru mengatur bahwa pinjol hanya boleh mengakses kamera, mikrofon, dan lokasi debitur.
Namun, belum ada aturan spesifik mengenai perlindungan data pribadi. Wilayah abu-abu ini dimanfaatkan oleh pelaku pinjol ilegal untuk mengakses data debitur secara ilegal, serta memanfaatkannya untuk penagihan dengan cara teror yang tidak pantas.
Sementara itu, Bhima menuturkan manfaat pinjol lainnya adalah kecepatan akses yang tidak dimiliki oleh bank. Penarikan pinjaman lewat pinjol bisa dilakukan dalam 24 jam selama tujuh hari lantaran memanfaatkan layanan digital.
Dari sisi tenor pinjaman, pinjol menawarkan tenor yang lebih singkat dibandingkan bank yakni dimulai dari dua minggu sampai dengan tiga minggu. Pun demikian, plafon pinjaman yang relatif lebih terjangkau wong cilik kalangan unbankable.“Plafon pinjaman bisa disesuaikan, bahkan yang paling kecil ada pinjaman di bawah Rp10 ribu untuk beli pulsa, bank tidak bisa masuk ke situ,” tegas Bhima.
Belum Diregulasi OJK
Masih banyak ruang yang belum diregulasi oleh OJK. Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi menyatakan mudarat pinjol ilegal melebihi lintah darat karena bunganya sangat besar. Terlebih, apabila debitur menunggak pembayaran. Mereka bisa dipermalukan dengan menghubungi semua kontak pada handphone secara ilegal seperti yang terjadi pada kasus Melati.
“Bahkan, foto-foto kita diambil dan disebar dengan label sebagai penjahat yang kabur tidak membayar pinjaman,” ujarnya. Namun, dibalik semua mudarat fintech ilegal tersebut, ada sejumlah manfaat atau maslahat dari kehadiran pinjol legal. Ia mengatakan pinjol bisa memberikan kemudahan akses pendanaan bagi masyarakat masih belum tersentuh layanan finansial atau perbankan (unbankable).
Dengan demikian, kalangan unbankable itu bisa mendapatkan pendanaan dari pinjol untuk kepentingan mendadak. Bank Indonesia (BI) mencatatgolonganunbankabletersebutmencapai 91,3 juta orang pada 2020 lalu. “Tidakperluagunansepertikitapinjamke bank,” ucapnya. (SAF)