Jakarta – Presiden Joko Widodo telah menunjuk Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo sebagai calon tunggal Kapolri pengganti Kapolri Jenderal (Pol) Idham Azis. Sejumlah tantangan sudah menghadang bekas ajudan pertama Presiden Jokowi ini. Sebagai ujung tombak penegak hukum, penjaga Kamtibmas dan pemberi asa aman masyarakat, Polri dari waktu ke waktu harus terus bergelut dengan dinamika persoalan kebangsaan untuk menunjukkan profesionalisme.
Polri dituntut melakukan reformasi dalam paradigma, manajemen SDM, kerangka operasionalisasi kerja di lapangan, hingga kemampuan membangun jejaring sosial untuk memaksimalkan fungsi pelayanan publik yang unggul (strive for excellence dan thrive excellence), sebagaimana program kerja Polri periode III (2015-2025).
Dalam konteks itu, Kapolri harus merancang dan merevitalisasi institusi Polri yang kompetitif, dengan service quality yang menakjubkan. Ada dan bertumbuh di tengah keragaman identitas sosial budaya masyarakat, membuat Polri tak mungkin bekerja secara mekanistik semata, Tapi memerlukan suplai nilai-nilai kearifan sosial sebagai energi konstruktif untuk menangani berbagai kompleksitas persoalan masyarakat.
Seperti mencuatnya modus-modus kejahatan baru di dunia maya (penipuan, hoaks dalam bisnis online, hingga politik, pencurian data individu hingga korporasi, penculikan anak, dan lain-lain) perdagangan manusia, penyelundupan narkoba hingga aksi terorisme.
Kultur Progresif
Kapolri dituntut untuk membangun militansi korps institusi Polri yang solid, apalagi dengan situasi di mana Polri senantiasa mendapat ujian yang besar oleh erupsi sosial berupa ancaman radikalisasi dan terorisme. Meskipun kontribusi Polri cukup nyata dan mengundang decak kagum masyarakat terkait dengan penindakan terhadap teroris, namun di sisi lain Polri juga masih dikritik sebagian masyarakat karena dianggap masih lunak dalam menyikapi rangkaian perencanaan teror.
Polri harus lebih serius menginjeksi kultur progresif di dalam institusinya, tidak saja sebagai problem solver tetapi juga sebagai agen yang memproduksi keteladanan dalam mengelola konflik yang tidak mengorbankan kohesivitas bermasyarakat. Misalnya melembagakan prinsip humanisme (humanistic approach) di dalam membangun sistem preventif dan penanganan kriminalitas (crime prevention).
Spirit humanisme adalah wujud dari reformasi culture set Polri dalam memandang masyarakat tidak semata sebagai pelaku aktif kejahatan yang harus “dinegasi”, tetapi merupakan korban dari suatu mekanisme kejahatan sistemik dan struktural, yang harus diurai dan dipulihkan.
Dengan pemahaman seperti itu, tak ayal, nilai-nilai moral, kemanusiaan menjadi sendi utama untuk membangun sikap proaktif Polri di dalam proses pemulihan sosial. Sedangkan cara-cara agresif yang menegasi harkat kemanusiaan seseorang harus diminimalisasi.
Dulu semasa saya masih duduk di bangku SD, polisi bukanlah sosok yang seramah sekarang. Setiap melihat seorang polisi yang mengenakan seragam cokelat apalagi dengan pistol yang terselip di pinggang, selalu yang dibayangkan adalah sosok yang sangar, menakutkan, yang bisa menangkap, memenjarakan atau membunuh penjahat, bahkan orang-orang yang tidak bersalah.
Polisi dalam imajinasi publik adalah “monster” yang menakutkan (sama seperti kenyataan yang terjadi di mana polisi kerap dijadikan momok oleh orangtua untuk menakuti anak-anak yang malas ke sekolah), bukan saja karena pakaiannya, tetapi juga karena sistem politik saat itu yang menjadikan Korps Bhayangkara sebagai instrumen kepentingan penegakan kekuasaan sekaligus stabilitas politik, sehingga antara rezim kekuasaan dan Polri selalu diikat oleh sebuah imajinasi yang intimidatif.
Namun kini, setelah lepas dari TNI, Polri terus berupaya keras menjelmakan dirinya menjadi sosok yang familier dan humble dengan masyarakat. Sentuhan-sentuhan kemanusiaan dengan masyarakat menjadi langgam utama paradigma kerja yang terus ditabuh Polri. Sejalan dengan paradigma modern kepolisian yang lebih berbasis pada upaya caring the people daripada use of force (Satjipto Rahardjo, 2005).
Pendekatan represivitas aparat tak mungkin mampu merekonstruksi suatu kehidupan sosial yang harmonis dan damai, karena hanya akan mengendapkan ketakutan dan lingkaran balas dendam di masyarakat. Tetapi kerja Polri yang menuntun, membimbing atau mengayomi masyarakat adalah strategi mustajab untuk mempromosikan institusi polisi yang humanis dan demokratis.
Menurut Laporan Global Law and Order 2018 yang dirilis lembaga survei Gallup, rakyat Indonesia termasuk di antara orang-orang yang paling aman dari rasa tidak aman dan memiliki kepercayaan terhadap kinerja Kepolisian. Sebesar 69 persen mengatakan mereka memiliki kepercayaan diri terhadap polisi setempat dan 68 persen merasa aman ketika berjalan pulang di malam hari ke tempat mereka tinggal.
Torehan tersebut setidaknya perlahan-lahan telah mereduksi persepsi arkaik rakyat yang selama ini pesimis terhadap profil Kepolisian yang dianggap masih mewakili anekdot sinisme Presiden Gus Dur (kala itu), yang mengatakan: hanya ada tiga polisi yang baik di Indonesia; mereka adalah patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng Iman Santosa.
Tak Sulit
Kini polisi tidak bisa lagi “tidur” dan terus “berkubang” dengan cacian dan sinisme masa lalu di tengah perkembangan informasi dan teknologi yang kian canggih dan eksploratif, di mana masyarakat sendiri yang akan menjadi sumber sekaligus konsumen informasi terutama terkait dengan kinerja Kepolisian. Dengan kata lain, profesionalisme dan literasi isu kejahatan kontekstual-modern menjadi garapan kerja Kepolisian yang harus dikedepankan dari waktu ke waktu.
Apalagi dengan diterapkannya program “Promoter” yaitu polisi yang profesional, modern, dan terpercaya, sehingga menjadikan polisi sebagai mitra dan sahabat masyarakat yang mengedepankan empati, profesionalisme. Seiring dengannya, persoalan kriminal (pencurian, premanisme jalanan), korupsi, konflik sosial, narkoba, pornografi, berkembang biaknya hoax di media sosial, kejahatan cyber ,hingga terorisme menjadi pekerjaan rumah Kepolisian yang kini memiliki 443.193 personel, tersebar di 34 provinsi seluruh Indonesia.
Polri modern tidak mungkin lagi tumbuh dalam situasi anakronistik, berkutat pada kalkulasi ekonomistik (memberikan pelayanan kepada masyarakat berbasis insentif ekonomi). Upaya untuk mereproduksi “sel-sel baru” yang memberi darah segar pada fundamen institusi dalam mempromosikan nilai dan sikap loyal terhadap keadilan, ketertiban sosial dan keamanan negara kepada masyarakat sehingga akan memperkuat kewibawaan institusi, menjadi keniscayaan.
Butuh waktu tidak singkat untuk merejuvenasi Polri sebagai mercusuar dan sumber transformasi bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Tapi melihat tren profil kepolisian belakangan, dengan inisiasi program-programnya di tengah masyarakat untuk menjawab kebutuhan konkret masyarakat. Ditambah aksi-aksi spontan atau aktivitas pro-humanis –menolong anggota masyarakat yang berkekurangan, rela mengorbankan nyawa, kebersamaan bersama keluarga tercintanya demi memberikan perlindungan penuh kepada masyarakat dan demi tegaknya keselamatan NKRI– rasanya hal tersebut tak sulit diwujudkan.
Nilai-nilai pengabdian dan empati yang kuat oleh Polri terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan menjadi modal membangun organisasi profesional pelayan masyarakat sebagai benchmark Polri. Korps Bhayangkara harus terus memperlebar jangkar pembaruan dalam mindset maupun culture set-nya termasuk membangun sistem meritokratis dalam proses seleksi keanggotaan, pembenahan kurikulum dan pengedepanan nilai-nilai kesipilan, demokratis.
Polri juga tidak boleh membiarkan dirinya terjebak dalam konflik kepentingan, termasuk tersubordinasi oleh sikap maupun kebijakan elite politik yang mengorbankan rasa keadilan publik. Semakin banyak lembaga pemantau polisi yang dilahirkan, akan semakin baik untuk mengontrol pelaksanaan tugas dan fungsi Polri sehingga Polri terbebas dari kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan.
Umbu TW Pariangu dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang; pernah menjadi Dewan Pakar Polda NTT