Wacana terorisme harus diantisipasi dengan wacana yang sama, yaitu menggunakan agama dan budaya yang lebih tepat sehingga terhindar dari upaya yang justru menstigmasi agama. Upaya kontra opini harus mampu memberi kesan bukan untuk memerangi agama dan kepercayaan tapi pada sikap radikalisme dan terorisme yang sesat dan salah karena menggunakan simbol-simbol agama secara sembrono.Tidak dapat disangkal bahwa suatu pesan-pesan dari penegak hukum bisa menjadi kontraproduktif karena bisa dianggap member stigma setiap muslim adalah teroris.
Hal ini telah melekat di kalangan publik, karena awal dari anti terorisme lahir di Barat di mana medianya secara tidak langsung dianggap telah menuding Islam sebagai agama atau keyakinan yang sarat ideologi kekerasan. Wacana kontra opini perlu disebarluaskan secara bertanggungjawab agar gaung dan dampak dari informasi semacam itu bisa terkaunter. Selain itu perlu peran aktif dari penggunanya juga.
Jakarta, 24 Desember 2021. Isu ekstrimisme, radikalisme, terorisme kini makin menjadi bagian yang menghantui dan menakutkan kehidupan masyarakat. Adalah sudah menjadi fenomena bahwa ketika masuk bulan Ramadhan di Indonesia, berbagai konten aspek-aspek bulan suci yang dibicarakan publik dalam media sosial tidak jarang disertai pula oleh pesan-pesan terorisme ekstrimm baik yang dengan terang-terangan maupun secara terselubung. Melihat pesan-pesan dan komentar-komentar di media sosial berbagai platform, isi konten adalah beraneka ragam meskipun mengarah pada sifat-sifat radikalisme dan ekstrimisme. Tentunya ini harus diwaspadai dan penting dimonitor.
Kemunculan fenomena ini seiring dengan semakin merebaknya penggunaan sosial media tampaknya ironis. Pada galibnya, bulan Ramadhan sebenarnya merupakan masa yang ditunggu-tunggu, masa ketika umat muslim diharapkan berserah diri, beribadah kepada Tuhan karena sebagai individu maupun masyarakat mereka merasa terpanggil untuk menunjukkan rasa persatuan dan solidaritas mereka dengan sesama muslim di seluruh dunia. Bahwa konten isu-isu Ramadhan di media sosial kini seringkali malah berisi hal-hal mengenai teroris ekstrim bukanlah hal yang mengejutkan, tidak saja di Indonesia tapi juga di negara-negara lain yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Menurut penelitian Reinier Bergema dan Lucie Kattenbroek dari The Hague Centre for Strategic Studies, fenomena ini ini tidak lepas sejak golongan ekstrimis dan radikal mulai mengambil kesempatan untuk menggunakan bulan Ramadhan masa untuk menyerukan kepada pengikut-pengikutnya melakukan serangan terorisme di banyak negara mayoritas muslim. Kelompok teroris tampaknya menganggap bila seruan itu mereka lakukan selama bulan puasa, ia dapat menjustifikasi aksi yang sebenarnya bertentangan dan salah dengan ajaran Islam itu sendiri. Simbol-simbol agama kerap digunakan sebagai faktor untuk mendapatkan dukungan pengikut-pengikutnya maupun untuk publik muslim, yang tidak selalu menyadari motif politik dari kelompok teroris di belakanganya itu.
Dasar agama adalah dijadikan legitimasi aksi, meskipun banyak yang baru kemudian menyadari bahwa korban di pihak sesama mulsim sendiri juga tidak sedikit.
Tidak dapat dibantah bahwa isu jihad dan perjuangan yang ditawarkan organisasi radikal semacam ISIS dianggap berkesesuaian dengan perspektif pengikutnya. Mereka percaya dan mengharapkan memperoleh pahala yang berlipat ganda jika aktivitasnya terornya dilakukan selama bulan puasa. Lewat jalan seperti inilah tujuan strategis organisasi radikal dapat dioperasionalkan secara lebih jauh.
Mitosnya adalah bahwa bulan puasa diartikan sebagai bulan melakukan Jihad. Sebagian para simpatisannya, dengan berdasarkan pada ideologi tersebut, menggunakan sarana sosial media untuk menunjukkan ‘perang jihad’ dengan cara memasukkan konten-konten guna menyulut emosi keagamaan umat yang sedang beribadah puasa. Artinya, walau hanya memberikan dalam kontek audio, visual dan komentar, mereka sudah merasa ikut berkontribusi dalam pencapaian misi secara keseluruhan. Yang menarik, berbagai riset justru menunjukkan bahwa aksi kekerasan teroris di manapun lebih banyak muncul sebelum bulan puasa dan bukan pada bulan puasa.Selama bulan puasa biasanya muncul ancaman-ancaman di banyak laman media sosial, yakni bombardir wacana dan diskusi soal terorisme jihadis.
Sebagian pengamat komunikasi menganggap bahwa pemberitaan media mainstream sering juga ditengarai justru ikut menghidupkan mitos-mitos bulan Ramadhan memiliki asosiasi dengan tugas jihad mualim, dakwah untuk membenarkan aksi teror dan sebagainya. Itu sebabnya mereka penting pula menjadi obyek dari pemecahan masalahnya. Sebab cara mereka itu dianggap telah turut menginspirasikan para pengikut ideologi radikal melampiaskan ide-idenya yang diparalelkan dengan perang suci di bulan suci. Karenanya, ini menjadi faktor pemicu pula bagi kalangan teroris sendiri untuk melakukan aksinya. Lebih jauh lagi, sudah sangat dipastikan yang sangat aktif dalam hal ini dilakukan oleh kalangan milenial.
Riset menunjukkan bahwa ruang maya menjadi tempat empuk mendapatkan pendukung dan menargetkan orang muda pengguna ‘media baru; seperti Facebook, Twitter dan Youtube. Ini karena kemudahan internet diakses dan lebih banyaknya pemirsa secara maya. Lewat pemikiran-pemikiran yang telah di brainwash itu, konten-konten itu seolah menjadi perrpanjangan bagi penyebaran ideologi radikal yang memanfaatkan pribadi milenial yangmudah terpengaruh dan dipengaruhi.
Strategi bagi Polri
Dengan kenyataan di atas, dapatlah dipetakan bagaimana strategi yang tepat bagi Polri mengantisipasi masalah konten terorisme, utamanya semasa bulan Ramadan di Indonesia. Berbagai metode dapat diterapkan secara inovatif dan trobosan dan disesuaikan dengan karakteristik tertentu. Tentu saja upaya harus dilakukan secara holistis dan satu studi tentang masa-masa di mana fenomena ini muncul ketika terjadi Ramadhan di Indonesia masih memerlukan riset lebih jauh. Upaya deradikalisasi telah dilakukan sebagai strategi penanggulangan terorisme di Indonesia dengan pendekatan holistik dari hulu ke hilir. Adalah perlu waktu upaya ini bisa berhasil sebagaimana ditunjukkan dari konten-konten di media sosial nantinya.
Dalam upaya mengatasi penyebaran radikalisme masyarakat di media sosial, BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) telah menggunakan strategi melakukan penyebaran kontra radikalisasi dengan konten-konten bersifat nasionalisme. Strategi kontra radikalisasi menanamkan juga nilai-nilai non kekerasan, baik melalui pendidikan formal maupun formal telah dilakukan kepada masyarakat umum. Kerjasama dengan tokoh agama, pendidikan, masyarakat, adat, pemuda dan stakeholder juga diperlukan untuk memberikan nilai-nilai kebangsaan.
Baca Juga : Penegakkan Hukum Terhadap Aksi Terorisme Di Indonesia
Upaya deradikalisasi bisa pula ditujukan kepada kelompok simpatisan dan pendukung yang militan sehingga berpengaruh dengan apa yang mereka lontarkan dalam ruang publik. Hal ini dilandasai pemikiran bahwa penyelesaian usaha preventif masalah terorisme, termasuk dalam penyebarluasan wacananya, tidak hanya akan mampu diselesaikan lewat penegakan hukum dan penindakan hukum, tapi harus pula menyentuh persoalan hingga ke hulu. Sosialisasi masyarakat harus mampu menyadarkan masyarakat akan hak dan kewajibannya sebagai warga siber terutama dalam penggunaan media online.
Siaga patroli polisi Siber dan penerapan UU ITE
Khususnya bagi pihak kepolisian, tantangan ini harus disikapi dengan memperbesar kiprah tugas siaga patroli polisi siber dan penerapan dari UU ITE nya. Apalagi sekarang sudah ada pemasangan rambu-rambu etika dalam berinternet agar pengguna di Indonesia tidak anti sosial atau membuat ujaran kebencian dan bisa diadukan sebagai bentuk kejahatan. Joseph S Nye (2011) dalam buku the future of Power menyatakan bahwa negara harus mampu menguasai kekuatan teknologi karena dunia siber memberikan ancaman baru. Negara dan aparat mau tidak mau dituntut untuk menyadari bahwa masyarakat modern sudah amat tergantung dengan teknologi dan menjadi bagian daripadanya.
Itu sebabnya dalam mengkaunter terorisme, baik dalam bentuk aksi maupun wacana, faktor penguasaan dan pemahaman akan teknologi menjadi signifikan. Artinya penanggulangan terorisme secara fisik dan aspek sibernya harus dijalankan seimbang. Apalagi kini dunia siber, dan media sosial telah digunakan sebesar-besarnya untuk mengeksploitasi kelemahan suatu negara yang tidak seratus persen menguasai pengontrolan dunia siber.
Karena konten media sosial seperti itu tidak jarang berhubungan dengan pemberitaan menyesatkan, UU ITE dapat menjadi landasan penegakan hukum memerangi konten radikal. Apalagi ini tidak jarang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan jaringan komunikasi kelompok radikal di manapun. Ketegasan pihak kepolisian yang ditunjukkan di sini, bisa dijadikan semacam shock terapi bagi mereka yang menyebarkannya.Tujuannya untuk pencegahan agar konten-konten yang mengandung muatan radikalisme selama bulan Ramadhan terutama menyangkut terorirsme dapat dicegah penyebarluasannya.
Sebagaimana dinyatakan oleh Iqbal Ramadhan dari Universitas Pertamina, kesimpelan dan fleksibilitas teknologi dan informasi telah membuat kehidupan manusia makin nyaman. Namun di samping itu pula, kelompok teroris juga dengan nyata menggunakan hal ini untuk menyebarkan teror dan merekrut anggota baru, mencari pendanaan dan makin memobilisasi aktifitasnya. Kegiatan seperti ini adalah sulit dideteksi namun bisa dikenali lewat unggahan konten-konten. Bila suatu konten telah dianggap mengganggu, pemblokiran atas akun media sosial atau situs website bisa dilakukan guna membatasi ruang gerak dari upaya promosi dari paham radikal terutama yang terjadi dalam ranah media sosial. Dalam hal ini, UU ITE dapat digunakan untuk menjerat pelaku yang memberi informasi dan konteks berdimensi atau bobot politik yang menyesatkan termasuk konteks ekstrimisme yang membahayakan bila ditilik dari penggunaan komposisi pesan, bahasa dan sebagainya..
Meski demikian ini tidak dapat dilakukan secara gegabah dan harus senantiasa mengedepankan pendekatan restorative justice yang selama ini telah menunjukkan arah yang positif. Artinya diperlukan parameter yang jelas dan pasti sehingga tidak berbenturan atau bertentangan dengan azas kebebasan berekpresi seseorang atau kelompok di dunia maya. Pengamat informasi Enda Nasution menilai bahwa negara memang perlu hadir di ruang digital termasuk media sosial, namun harus sesuai dalam koridor hukum dan terutama sekali dilandasi semangat melindungi kebebasan berekspresi dan bukan represi.
Peran aktif kontra opini
Yang harus dicatat pula adalah bahwa wacana terorisme harus diantisipasi dengan wacana yang sama, yaitu menggunakan agama dan budaya yang lebih tepat sehingga terhindar dari upaya yang justru menstigmasi agama. Upaya kontra opini harus mampu memberi kesan bukan untuk memerangi agama dan kepercayaan tapi pada sikap radikalisme dan terorisme yang sesat dan salah karena telah menggunakan simbol-simbol agama secara sembrono. Tidak dapat disangkal bahwa suatu pesan-pesan dari penegak hukum bisa menjadi kontraproduktif karena bisa dianggap member stigma setiap muslim adalah teroris. Tidak dapat dipungkiri hal ini telah melekat di kalangan publik, karena awal dari anti terorisme lahir di Barat di mana medianya secara tidak langsung dianggap telah menuding Islam sebagai agama atau keyakinan yang sarat ideologi kekerasan.
Artinya, persoalan utama seringkali rasio banyak berita negatif dan positif adalah karena jomplang dan pengontrolnya hanyalah pihak penegak hukum. Wacana kontra opini perlu disebarluaskan secara bertanggungjawab agar gaung dan dampak dari informasi semacam itu bisa terkaunter. Selain itu perlu peran aktif dari penggunanya juga. Pengembangan kontra opini dimaksudkan untuk deframing informasi kelompok radikal sehingga alternatif sumber menjadi beragam untuk difikirkan secara kritis. Juga penting faktor ketepatan dalam mengkaunter. Artinya jangan sampai suatu isu dibiarkan hingga membesar dan terlambat direspon dengan benar sehingga paham radikal menjafdi berakumulasi dan terlanjut menguasai mindset individu dan masyarakat. Hal ini tentu telah menjadi tuntutan bagi personal aparat kemananan dan hukum tidak saja yang langsung berhubungan dengan tugas ini tapi menjadi budaya dari keseluruhan aparat kepolisian.
Target Milenial
Menurut Bayu Kusuma, pengajar pada IAIN Kalijaga, karena pemberantasan terorisme telah semakin solid dan menjadi agenda global banyak negara lewat pendekatan militer, maka perjuangan ideologi radikal dan terorisme kini semakin banyak ditujukan dengan mengandalkan celah yang sulit dideteksi yakni teknologi informasi.
Personil kepolisian dapat menjangkau kontra opini tentang terorisme di media sosial dengan misalnya mentargetkan generasi milenial yang merupakan pengguna aktif berbagai media sosial. Ini dilakukan untuk memperkuat peran polisi itu sendiri, Yang penting dan mendesak adalah mematahkan mitos bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang tepat melakukan kekerasan atas nama agama sebagaimana dipercayai banyak orang yang tidak mengerti maksud politis penggunaan simbol-simbol agama untuk maksud politis dari radikalisme.
Menurut Lono Simatupang, pengajar antropologi dari UGM, harus mulai dapat dibentuk opini bahwa terorisme tidak mewakii Islam. Bahkan mereka, para pengguna internet muda kalau perlu direkrut untuk turut aktif menyebarkan pesan damai sehingga dengan gaya dan bahasa mereka yang tertentu dapat lebih diterima ketimbang bila pesan-pesan datang dari pihak kepolisian saja. “Mereka adalah mewakili generasi muslim yang tidak setuju dengan radikalisme dan kekerasan yang menggunakan agama sebagai tameng. Bahwa pengguna media sosial di kalangan milenial dapat menunjukkan bahwa mereka tidak bertindak seolah satu radikal melawan radikalisme, tapi menganggap mereka sebagai musuh negara bersama. (ISK – dari berbagai sumber)
Baca Juga : Diduga Terlibat Terorisme Densus 88 Tangkap Farid Okbah