Polri berharap institusinya lebih banyak diisi orang yang baik dan memiliki semangat perubahan, sebagai refleksi dan perwujudan semangat presisi. Namun tampaknya, seperti terlihat pada beberapa kasus yang mencuat akhir-akhir ini, justru isu mengenai pemimpin ideal yang mampu melayani dan mengayomi justru masih menjadi kendala yang mengemuka. Pertanyaannya apakah penciptaan kualitas kepemimpinan yang dimaksud di lingkungan Polri sesungguhnya merupakan suatu harapan utopis yang sulit dilaksanakan seperti tampak pada realita nya di lapangan? Seiring sejak bergulirnya Reformasi, sebenarnya telah banyak perubahan dan pembenahan internal yang dilaksanakan pihak Polri terutama dalam upaya pembenahan atas kualitas pemimpin-pemimpinnya. Kesemuanya sudah mengarah pada penilaian dan kriteria pemimpin yang memiliki integritas dan akuntabilitas. Kita menyaksikan lahirnya pemimpin-pemimpin dari generasi baru yang semakin profesional. Upaya ini tampaknya harus digalakkan dan dikuatkan terus-menerus secara berkesinambungan. Masih ada persoalan-persoalan kepemimpinan yang masih memerlukan perhatian, terutama bagaimana menyadarkan pemimpin agar dapat bersungguh-sungguh memaknai penggunaan kata-kata seperti melindungi, mengayomi dan melayani. Menurut pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar, polisi di Indonesia memang masih harus mau mengubah pola hubungan antara atasan dan bawahannya agar lebih harmonis. Disiplin kaku ala militer sudah bukan jamannya lagi dan harus diganti dengan kualitas yang ditekankan kembali oleh Kapolri baru-baru ini. Suatu sistem komunikasi antara pemimpin, bawahannya dan masyarakat harus dapat lebih mendekatkan mereka guna pencapaian sinergi yang diperlukan dalam konteks pemolisian modern ke depannya.
Jakarta, 29 Oktober 2021. Kapolri Jenderal Sigit Listyo Prabowo baru-baru kembali mengingatkan kepada jajarannya bahwa seorang pemimpin seharusnya menjadi teladan bagi bawahan. Hal itu dilontarkannya saat ia menghadiri penutupan pendidikan Sespimti Polri Dikreg ke-30, Sespimen Polri Dikreg ke-61 dan Sespimma Polri Angkatan ke-66, di Lembang, Jawa Barat, Rabu (27/10) lalu. Acara tersebut juga dihadiri oleh Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto.Pesan khusus menyangkut soal kepemimpinan di lingkungan Polri ini adalah ditujukan bagi seluruh jajarannya. Selain sebagai respon cepat atas keresahan di masyarakat menyaksikan perilaku-perilaku buruk oknum pemimpin di jajarannya, jua untuk memberi ketegasan sikap yang akan diambil oleh Mabes Polri terhadap mereka yang tidak sesuai dengan kriteria itu.
Berbagai kejadian penyimpangan oleh oknum Korps Bhayangkara memang kian banyak diberitakan akhir-akhir ini oleh media. Bila permasalahan ini tidak dibicarakan, dikhawatirkan bisa berdampak luas terhadap kepercayaan masyarakat terhadap kesungguhan dan profesionalitas kepolisian yang selama ini dibangun untuk ke arah yang lebih positif. Di bawah kepemimpinan Kapolri Sigit Listyo Prabowo, Polri terus giat melakukan upaya-upaya perbaikan citranya, yang diaplikasikan lewat program unggulan Presisi dari Kapolri Sigit Listyo Prabowo.
Sampai dengan pertengahan tahun lalu, survei menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap Polri semakin membaik. Namun beberapa kejadian menyangkut perilaku buruk polisi akhir-akhir ini menjadi ganjalan dan perlu mendapat perhatian yang khusus. Masyarakat membaca mengenai kasus polisi yang abai menindaklanjuti laporan dugaan pemerkosaan tiga anak di Luwu Timur Sulawesi Selatan. Karena berita itu makin menjadi viral, ia kemudian jugadiikuti dengan kemunculan tagar #percumaLapor Polisi yang juga viral. Dari kasus ini terlihat bahwa imej buruk mengenai polisi akan makin menggeneralisasi dan juga memperburuk anggapan ketiadaan kepemimpinan yang mumpuni serta peningkatan profesionalitas pemimpin polisi yang selama ini digembar-gemborkan.
Tidak lama sesudah kemunculan kasus tersebut, muncul lagi kasus di mana seorang anggota polisi dalam tayangan sebuah video membanting seorang mahasiswa saat yang bersangkutan berdemonstrasi di kantor Bupati Tangerang. Belum lagi usai masalah ini, kasus yang melibatkan polisi muncul kembali, di mana seorang polisi bernama Bripda Arjuna Bagas alias AB dilaporkan menggunakan mobil patroli untuk berpacaran. Akibat ulahnya, Bripda AB pun kemudian dicopot dari jabatan.
Sebuah kasus asusila yang melibatkan anggota polisi muncul dan menghebohkan masyarakat yang menilai bahwa aparat yang seharusnya menegakkan hukum justru melanggarnya. Peristiwanya bermula ketika mantan Kapolsek Parigi, Iptu IDGN diduga memanfaatkan jabatan untuk memperdaya S (20), anak seorang tahanan. Iptu IDGN juga telah dipecat dan dicopot dari jabatan sebagai Kapolsek Parigi Moutong. Kasus asusila lain muncul dan melibatkan dua anggota Polsek Kutalimbaru yang diduga mencabuli seorang istri tahanan kasus narkoba. Saat ini kasus tersebut masih diselidiki Propam Polda Sumut.
Kasus terakhir yang juga menjadi viral adalah kasus penganiayaan seorang atasan terhadap bawahannya di lingkungan Polda Kalimantan Utara. Sebuah rekaman video pendek yang beredar di masyarakat memperlihatkan Brigadir SL yang sedang dianiaya AKBP SA, yang menjabat sebagai Kapolres Nunukan. Menurut Kepala Bidang Humas Polda Kalimantan Utara, Komisaris Besar Polisi Budi Rachmad, Pelaku melakukan penganiayaan itu karena jengkel wajahnya tak muncul saat menghadiri zoom meeting dengan Mabes Polri.
Teknologi informasi dan media sosial
Kasus-kasus viral mengenai kejahatan atau pelanggaran hukum terutama yang muncul pertama kali dimunculkan media sosial adalah fenomena yang terjadi di mana-mana.
Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan penggunaan media sosial, tampaknya akan semakin sulit bagi aparat penegak hukum termasuk kepolisian untuk menutup-nutupi atau mendiamkan‘borok’ yang ada di lingkungannya karena sulitnya menyaring luapan informasi yang kini begitu meluas.
Harus disadari bahwa tidak saja publik tapi juga bawahan dari sebuah institusi tampaknya memiliki kekuatan untuk dapat menunjukkan berbagai penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan terutama bila suatu tindak penyalahgunaan kekuasaan yang melibatkan seorang pemimpin sulit untuk diproses secara adil. Rekaman-rekaman atas kejadian yang lama pun bisa terkuak kembali lewat cara-cara seperti ini.
Ketika anggotanya menjadi viral untuk alasan yang kurang baik, termasuk yang menunjukkan keburukan kualitas kepemimpinannya, pihak institusi memang harus menjadikan hal itu sebagai alat mengoreksi diri. Selain tidak bisa menutup-nutupinya, juga harus menanganinya secara serius, cepat dan langkah-langkah yang terukur dengan semangat akuntabilitas. Perlu diinsyafi pula bahwa mereka juga harus menggunakan kekuatan media sosial untuk mengimbanginya pesan-pesan buruk dengan yang positif, dengan menunjukkan bahwa tindakan seorang oknum tidak selalu mencerminkan kinerja organisasi dan jajarannya yang bersih dan berkualitas. Dengan cara seperti ini usaha menggeneralisasikan keburukan-keburukan dapatlah terimbangi.
Konsolidasi program presisi
Kejadian-kejadian dan kasus-kasus yang dijelaskan di atas adalah sedikit dari kasus yang sempat mengemuka. Tentu saja munculnya kejadian-kejadian tersebut amat memalukan karena memperburuk citra institusi kepolisian. Selama ini Polri sudah membangga-banggakan diri dengan aneka terobosan penerapan konsep presisi. Tidaklah mengherankan bila Kapolri menggunakan kesempatan dalam acara itu untuk secara khusus menyoroti tantangan pengimplementasian konsep Presisi yang sudah digalakkan tersebut, dan utamanya mengenai persoalan kepemimpinan yang ideal. Sorotan negatif yang datang dari masyarakat telah dilihat sebagai bahan masukan bagi upaya mengkonsolidasi program ke depannya.
Sebagaimana diketahui, konsep presisi merupakan sebagai jawaban untuk perbaikan kinerja kepolisian. Dengan penerapan konsep Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan (Presisi), Kapolri menunjukkan komitmennya untuk selalu meningkatkan kualitas kepemimpinan di jajarannya. Konsep ini pada galibnya lahir karena tuntutan masyarakat untuk pembenahan besar-besaran ke arah yang lebih baik atas institusi Polri dibanding masa sebelumnya. nyaParameter keberhasilan adalah tercapainya situasi keamanan dalam masyarakat serta tingkat terlindunginya masyarakat dari berbagai macam ancaman keamanan, perasaan aman dan nyaman secara psikis masyarakat dengan keberadaan atau kehadiran Polri di tengah-tengah mereka, serta tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan Polri.
“Itu yang saya tuangkan dalam konsep Presisi. Bagaimana kita menghadirkan pemolisian yang prediktif, responsibilitas dan mampu melaksanakan semua secara transparan dan memenuhi rasa keadilan. Ini menjadi harapan masyarakat dan tugas rekan-rekan untuk mampu mewujudkan semua ini dari level pemimpin sampai dengan pelaksana,” Demikian kata Kapolri Sigit Listyo Prabowo. Suatu hasil survei paling tidak bisa menjadi barometer mengukur sejauh mana polisi telah melaksanakan poin-poin menyangkut profesionalitas mereka. Lebih spesifik, suatu survei bisa berguna menemukan ‘gap’ yang harus dicarikan solusinya.
Berdasarkan survei terakhir, kejadian-kejadian yang dilakukan oleh oknum-oknum polisi seperti disebutkan di atas telah ikut menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada Polri. Evaluasi perlu dilakukan secara blak-blakan, terbuka dan sesuai fakta di lapangan. Selama ini berbagai survei memang sering dijadikan landasan Polri melakukan evaluasi. Semakin banyak evaluasi dihasilkan, semakin dapat ditemukan masalah-masalahnya seraya dicarikan solusinya secara komprehensif dan holistik. Tentu saja hasil survei yang buruk menjadi bahan evaluasi agar bisa menjadi cambuk dan catatan perbaikan ke depannya.
Mengenai parameter kinerja Polri dari tiap angkatan dari pusat sampai yang terkecil, pengamat H. Djoni Lubis menyatakan: “Parameternya cukup jelas, sampai di mana masyarakat merasakan pengabdian Polri serta tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan Polri. Sampai di mana masyarakat merasa nyaman dengan kehadiran dan keberadaan Polri. Sampai di mana situasi aman dan kesigapan Polri terhadap setiap potensi ancaman keamanan. Dari situlah bisa diukur kinerja anggota Polri di tiap tingkatan, dari pusat sampai tingkatan terkecil.”
Mengayomi dan Melayani
Kembali pada isi sambutan Kapolri mengenai kepemimpinan, tampaknya ada beberapa pokok menarik yang patut digarisbawahi dan dijabarkan kembali. Pada intinya, Kapolri mengingatkan kepada seluruh jajarannya agar menerapkan pokok-pokok kepemimpinan yang penting antara lain, pertama, soal mengayomi dan melayani.Seseorang yang diberi kesempatan memimpin menurutnya harus dapat mengayomi dan melayani masyarakat, termasuk kepada anggotanya. Seorang pemimpin dituntut mau turun ke bawah mendengarkan aspirasi yang beredar dalam masyarakat dan anggotanya secara langsung. Pemimpin yang berhasil adalah yang bisa melayani dan menempatkan anggota dan masyarakat sebagai prioritas dan bukan dirinya.
“Jangan hanya memerintah tapi tidak tahu kesulitan. Ini menjadi masalah,” tegas Listyo. Karenanya, seorang pemimpin menurut Kapolri, wajib memiliki sifat dan sikap yang kuat, berani, peka mupun responsif. Selain itu mereka juga harus dapat menguasai lapangan dan berani keluar dari zona nyaman mereka. Ia tidak lupa untuk berpesan bahwa seorang pemimpin juga harus dapat mengelola emosinya dengan baik. Artinya, pemimpin yang baik tidak gampang terpancing karena itu akan berpengaruh buruk terhadap masyarakat.
“Turun langsung ke lapangan agar tahu apa yang dirasakan masyarakat dan anak buah. Jaga emosi, jangan terpancing. Emosi mudah meledak akan akibatkan perbuatan yang tidak terukur,” Tegas Kapolri. “Apalagi diberikan kewenangan oleh undang-undang, maka tindakan tidak tersebut akan berpotensi menjadi masalah.” Sebagai institusi yang bertugas memberi keamanan dan kenyamanan warganegara, menurut Undang-Undang, Polri memang berkewajiban memberikan pelayanan publik yang prima sebagaimana amanat UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Selain itu, Polri juga sudah diamanatkan menjunjung etika kemasyarakatan berupa sikap moral yang senantiasa memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, melindungi serta mengayomi, dan puncaknya melayani publik dengan mengindahkan kearifan lokal dalam budaya Indonesia.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 30 ayat (4), dan kemudian dalam Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000 pasal 6 ayat (1) telah menyebutkan abahwa peran Polri “memberikan pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”. Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia kata “pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat” sudah diatur dalam 4 pasal yaitu pasal 2, 4, 5 dan 13.
Ikan Busuk Dari Kepala
Dalam sambutannya itu, Kapolri Sigit juga sempat mengutip sebuah peribahasa menarik yang berbunyi ‘Ikan busuk mulai dari kepala’. Peribahasa itu digunakannya untuk menjelaskan mengapa permasalahan internal di kepolisian bisa muncul dan terjadi. Ia yakin suatu masalah akan terjadi bila pimpinannya bermasalah atau tidak mampu menjadi teladan bagi jajaran di bawahnya. “Ada pepatah, ikan busuk mulai dari kepala, kalau pimpinannya bermasalah, maka bawahannya akan bermasalah juga”.
Pimpinan harus jadi teladan, sehingga bawahannya akan meneladani. Karena kita tidak mungkin diikuti kalau kita tidak memulai yang baik, kita tidak mungkin menegur kalau tidak jadi teladan, harus mulai dari pemimpin atau diri sendiri. Ini yang saya harapkan rekan-rekan mampu memahami. Ditambahkan lagi bahwa apapun yang dijalankan dengan penuh keikhlasan, ia akan menjadi buah keikhlasan. “Tolong ini diimplementasikan bukan hanya teori dan pepatah,” demikian permintaan Sigit dalam sambutan tersebut.
Komitmen Mabes Polri
Kapolri Sigit beserta pejabat utama Mabes Polri tampaknya telah berkomitmen dan amat serius dengan tipe pemimpin yang harus terpenuhi di lingkungan institusi tersebut. Bahkan ia juga akan memberikan reward bagi personel yang terbukti menjalankan tugasnya dengan baik dan bekerja keras melayani serta mengayomi masyarakat.
“Saya dan seluruh pejabat utama memiliki komitmen kepada anggota yang sudah bekerja keras di lapangan, kerja bagus, capek, meninggalkan anak-istri. Akan selalu komitmen berikan reward, kalau saya lupa tolong diingatkan.” ucap Sigit. Sebaliknya, apabila ada personel Polri yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik, atau melanggar aturan yang ada, sanksi tegas juga akan diberikan. Bahkan ia pun tak akan ragu menindak tegas pemimpin yang tidak mampu menjadi teladan bagi jajarannya, apabila ke depannya masih melanggar aturan.
“Terhadap anggota yang melakukan kesalahan dan berdampak kepada organisasi, jangan ragu melakukan tindakan. Kalau tak mampu membersihkan ekor maka kepalanya akan saya potong. Ini semua untuk kebaikan organisasi yang susah payah berjuang. Menjadi teladan, pelayan dan pahami setiap masalah dan suara masyarakat agar kita bisa ambil kebijakan yang sesuai,” demikian papar Kapolri selanjutnya.
Tantangan
Perlu digarisbawahi beberapa tantangan menerapkan harapan-harapan Kapolri yang terdengar ideal tersebut. Apakah hal itu akan mudah dilakukan dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh? Sebenarnya kata kuncinya adalah bahwa usaha semacam ini harus dapat dilakukan terus-menerus dan juga memerlukan kreativitas dan upaya mencari terobosan-terobosan untuk pemenuhannnya yang menantang.
Pihak Polri sudah berkomitmen agar institusinya lebih banyak diisi oleh orang yang baik dan memilki semangat perubahan, yakni refleksi perwujudan presisi. Dengan banyaknya kasus yang mencuat yang berseberangan dengan itu dan penanganannya sudah memperlihatkan kesungguhan Polri selama ini.
Yang menjadi pertanyaan adalah bahwa isu pemimpin ideal yang harus bisa melayani dan mengayomi justru menjadi topik masalah yang mengemuka. Pertanyaannya adalah apakah penciptaan kualitas kepemimpinan yang dimaksud itu lebih merupakan harapan utopia yang sulit dilaksanakan ketimbang realitas yang sebenarnya ada?
Ubah hubungan atasan-bawahan
Di masa lalu, ada pandangan bahwa tulisan-tulisan soal profesionalitas polisi yang ada di website resmi atau kantor-kantor Polri dari tingkat Mabes.Pospol, sampai pos-pos pinggir jalan hanyalah slogan manis belaka. Dalam kenyataan di lapangan, justru sering tampak ironis. Pelanggaran-pelanggaran justru dilakukan oleh oknum pemimpin. Para bawahan yang mengekor perilaku pemimpinnya, tidak menganggap perilaku mereka adalah juga pelanggaran- karena perilaku atasan mereka adalah ‘keteladanan’.
Seiring bergulirnya Reformasi, sebenarnya telah banyak perubahan dan pembenahan internal yang berhasil dilaksanakan Polri dalam upaya pembenahan kualitas pemimpinnya. Kesemuanya mengarah pada kriteria integritas dan akuntabilitas. Kita menyaksikan lahirnya pemimpin-pemimpin baru dari generasi baru yang menjanjikan di tubuh Polri yang memperlihatkan peningkatan kualitas dan profesionalitasnya. Namun tampaknya upaya itu harus digalakkan dan dikuatkan terus-menerus. Masih ada persoalan-persoalan yang memerlukan perhatian terutama soal menyadarkan para pemimpinnya dalam memaknai kata melindungi, mengayomi dan melayani yang disoroti kembali oleh Kapolri.
Meskipun tampak amat ideal diucapkan, namun seperti yang diakui Kapolri sendiri, penerapannya memang tidak semudah membalikkan tangan. “Melindungi” dapat diartikan menciptakan situasi aman secara fisik dari berbagai macam ancaman keamanan sehingga tercipta ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. “Mengayomi” memberikan rasa nyaman secara psikis. Sedangkan “melayani” merupakan kosa kata umum dan dasar pemahaman aparatur negara, termasuk Polri, sebagai abdi (pelayan) masyarakat. “Melayani” adalah mentalitas dasar yang sudah harus dimiliki setiap aparatur pemerintahan, termasuk jajaran Polri.
Melayani masyarakat artinya menjadi abdi masyarakat. Pangkat, jabatan dan wewenang sepenuhnya hanya digunakan sebaik-baiknya sebagai sarana pengabdian kepada masyarakat dan kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara. Tentu saja hal ini tidak akan mudah dilaksanakan bila tidak dibarengi oleh komitmen dan integritas dari masing-masing pemimpin.
Munculnya pemberitaan bahwa korban penganiayaan Kapolres Nunukan yang kemudian justru meminta maaf kepada pelaku karena merasa salah sebagai bawahan telah menyebarkan video penganiayaan dirinya di media sosial, justru bukan sesuatu yang baik. Hal ini antara lain memperlihatkan perlunya diubah budaya lama yang memandang bahwa pemimpin bisa kebal hukum dan dimaafkan begitu saja.
Menurut pengamat kepolisian. Bambang Widodo Umar, polisi Indonesia memang harus mau tidak mau mengubah pola hubungan antara atasan dan bawahannya. Disiplin yang kaku ala militer bukan jamannya lagi dan harus diganti. Suatu sistem komunikasi untuk mendekatkan mereka harus diciptakan agar hubungan harmonis atasan dan bawahan bisa dibentuk. Hanya dengan hal ini maka sinergi yang dibutuhkan akan dapat tercipta.
Memberi keteladanan
Tidak dapat dipungkiri bahwa pemimpin yang bisa memberi teladan adalah mereka yang mau dan berani mengubah mindset dan budaya kerja mereka. Mereka harus mampu bertransformasi dan menyesuaikan karakter mereka agar sesuai dengan ciri seorang pemimpin yang berintegritas tinggi. Hal itupun harus juga benar-benar tercermin dari setiap langkah dan prilakunya mereka. Dan tentu saja sistem yang kuat agar mereka dapat dibatasi dan terkontrol juga diperlukan. Artinya, selain memiliki ketulusan dan keihlasan, mereka juga harus mampu melakukan pemenuhan janji-janji yang berpihak pada yang dilayani.
Dalam konsep ideal pemimpin di lingkungan Polri, harus juga disinggung soal pengabdian. Sering dikatakan bahwa jabatan itu merupakan amanah. Namun dalam kenyataanya, ternyata tidak semua pemimpin yang dilantik, walaupun mampu, mau menerapkan konsep ini setinggi-tingginya. Artinya, mereka tidak selalu akan mendasarkan keputusannya berdasarkan hati nurani atau atensi sungguh-sungguh melayani dan sebaliknya mementingkan kelompok atau agenda-agenda tertentu.
Tugas seorang pemimpin polisi adalah berat karena keharusan memiliki standar kuat agar tampil profesional sekaligus mampu memberi imaji yang melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat. Beberapa ahli psikologi berpandangan bahwa meskipun banyak pemimpin yang ketika dilantik telah berjanji akan berlaku sesuai harapan bawahan atau masyarakatnya, dalam kenyataannya mereka sulit sekali memenuhi syarat dan janji ideal tersebut.
Idealnya, pemimpin atau atasan yang sebenar-benarnya adalah yang mampu merefleksikan hal itu lewat perbuatan dan bukan sekadar wacana di mata bawahannya. Inilah yang menjadi tantangan sebenarnya dalam menciptakan pemimpin-pemimpin ideal yang diharapkan. Intinya bagaimana menciptakan revolusi mental, budaya baru di mana baik atasan maupun bawahan menjadi mitra yang saling melengkapi, membantu, dan saling menguatkan sehingga tujuan dan kepastian hukum serta kepastian, kemanfaatan serta keadilan dapat ditegakkan. (Isk – dari berbagai sumber).
Baca Juga : Ketentuan Karantina dan Peran Polri