Pemerintah terus berupaya mencari solusi terbaik untuk mengefektifkan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang masih menjadi ancaman di sebagian wilayah di negara ini saban tahun. Data menunjukkan berbagai upaya yang dilakukan memang cukup berhasil menekan luasan area kebakaran dari tahun ke tahun. Keberhasilan ini tentu layak diapresiasi. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat per November 2020 luas hutan dan lahan yang terbakar sekitar 300 ribu hektare, jauh menurun dibandingkan dengan tahun 2019 yang mencapai 1,6 juta hektare. Bandingkan pula dengan data karhutla 2015 yang mencapai 2,6 juta hektare. Sementara untuk tahun 2021 tercatat telah terjadi kebakaran hutan dan lahan di Indonesia seluas 105.791 hektare dengan titik api sebanyak 800 titik. Upaya penanggulangan kebakaran hutan dan lahan dilakukan secara keroyokan oleh sejumlah institusi, salah satunya Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Dalam rangka penanggulangan karhutla, Polri meluncurkan Aplikasi Sistem Analisa Pengendalian (ASAP) Digital Nasional yang berfungsi sebagai alat pengendalian dan pencegahan kebakaran hutan dan lahan dari tingkat kabupaten/kota, provinsi, hingga pusat. Sampai sejauh mana kemampuan Polri mendeteksi karhutla melalui aplikasi ini? Apakah akan efektif mencegah karhutla berikutnya? Separah apakah karhutla yang pernah terjadi di Indonesia? Apa saja dampak buruknya? Apa saja solusi pencegahannya terutama yang dilakukan Polri berkolaborasi dengan lembaga lainnya?
Jakarta, 16 September 2021 – Upaya penanggulangan kebakaran hutan dan lahan menjadi perhatian khusus Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dalam arahannya, Presiden menekankan lima hal. Pertama, memprioritaskan pencegahan, yakni dengan pola deteksi dini hotspots dan firespots, monitoring rutin, dan meningkatkan frekuensi patroli dan pemeriksaan lapangan. Kedua, penataan pengelolaan ekosistem gambut dengan pengendalian hidrologi. Ketiga, pengendalian dan pemadaman segera setiap titik api yang muncul sehingga tidak menjadi besar. Keempat, penegakan hukum secara tegas bagi pembakar hutan agar memberikan efek jera. Kelima, dicari solusi permanen untuk upaya pembakaran hutan dan lahan yang sengaja untuk motif ekonomi.
Untuk menjawab penanganan masalah karhutla tersebut, Polri melakukan Peluncuran ASAP Digital Nasional dilaksanakan di Mabes Polri, Rabu (15/9/2021), dihadiri Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya, Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, serta dihadiri secara daring oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD dan seluruh Polda di Indonesia. Menurut Kapolri, ASAP Digital Nasional ini bakal berintegrasi dengan aplikasi penanganan karhutla yang dimiliki oleh Kementerian-Lembaga (K/L), BUMN, dan Polda jajaran. ASAP Digital Nasional menyempurnakan dan mengintegrasikan berbagai aplikasi yang telah ada sebelumnya di beberapa daerah, antara lain Lembuswana Kalimantan Timur, Hanyakeun Musuh Kalimantan Tengah, Bekantan Kalimantan Selatan, Lancang Kuning Riau, Sumatera Utara, dan Kalimantan Utara, Songket Sumatera Selatan, ASAP Digital Jambi, Sipongi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Satelit LAPAN.
Teknologi ASAP Digital Nasional tahap pertama sudah terpasang 28 titik CCTV di 10 Polda rawan karhutla, yaitu Polda Jambi, Polda Sumsel, Polda Aceh, Polda Sumut, Polda Riau, Polda Polda Kalsel, Polda Kalteng, Polda Kalbar, Polda Kaltim, dan Polda Kaltara. Sedangkan untuk tahap kedua pada bulan Desember 2021, rencananya bakal dipasang kembali 40 titik CCTV pada 10 Polda yang sudah terpasang CCTV sebelumnya ditambah dengan 3 Polda rawan karhutla lainnya, yaitu Polda Kepri, Polda Sultra, dan Polda Papua. ASAP Digital Nasional memiliki berbagai keunggulan yaitu, CCTV Live Auto monitoring, di mana kamera CCTV yang terpasang memiliki kemampuan high definiton dan mampu memantau 360 derajat dengan jangkauan 4 Km dan cakupan radius 8 Km serta dapat menjangkau lahan seluas 5.026 hektare.
Manual zoom sebanyak 40x dan bisa memutar rekaman dalam dua bulan terakhir, sensor yang bisa menampilkan suhu udara, kualitas, dan kelembapan udara, data titik api yang update setiap 5 menit menyesuaikan data update satelit LAPAN, data prakiraan cuaca, data informasi terkait peta lahan perusahaan, sumber air, dan batas desa dan posisi pergerakan personel untuk mengetahui posisi petugas yang terdekat dari titik api. Keberadaan ASAP Digital Nasional yang terintegrasi dengan aplikasi penanggulangan karhutla yang lain diharapkan dapat mempercepat pencegahan dan penanganan kebakaran hutan dan lahan. Dengan adanya aplikasi ini diharapkan bisa mengetahui dan melihat secara cepat atau real time terhadap titik api sehingga pencegahan dan penanganan dapat segera dilakukan oleh petugas untuk segera melakukan pemadaman. “Kami langsung teruskan kepada anggota terdekat yang kemudian bisa melakukan pergerakan secara cepat untuk datang ke titik tersebut untuk melakukan pemadaman,” ujar Kapolri saat jumpa pers usai peluncuran ASAP Digital Nasional. Menurut Kapolri, selain mempercepat penanganan dan pencegahan karhutla, aplikasi ASAP ini juga untuk mempermudah melakukan proses penyelidikan dan penyidikan terhadap pelaku pembakaran hutan dan lahan.
Apresiasi Berbagai Pihak
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengapresiasi langkah Kapolri meluncurkan aplikasi ASAP Digital Nasional. Menurut Siti, aplikasi tersebut penting bagi agenda nasional untuk karhutla dan bersifat permanen untuk kelembagaan. Selain membanggakan, keberadaan ASAP Digital Nasional itu juga membuktikan bahwa persoalan karhutla di Tanah Air ditangani dengan baik. Bahkan, Siti Nurbaya Bakar mengusulkan agar ASAP Digital Nasional ditampilkan pada Konferensi Iklim COP ke-26 di Glasglow Oktober-November 2021. Apresiasi juga disampaikan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Ia menilai aplikasi ASAP Digital Nasional merupakan langkah strategis karena mampu mengintegrasikan, mengkolaborasikan dan mensinergikan semua aplikasi terkait karhutla yang ada di daerah, maupun kementerian/lembaga.
Selain bisa memantau secara nasional, di tingkat bawah juga otomatis akan terintegrasi semua komponen-komponen pemangku kepentingan yang berkepentingan dalam penganan karhutla di daerah masing-masing. Tito memastikan aplikasi terintegrasi karena sistem atasnya terintegrasi, apalagi sudah ada nota kesepahaman (MoU) para pimpinan masing-masing. Dengan manajemen penanggulangan yang semakin baik, tentu kita optimistis kebakaran hutan dan lahan dapat ditekan seminimal mungkin. “Aplikasi ini sangat bermanfaat sekali dalam rangka ‘quick respond’ (respon cepat) mencegah kebakaran hutan dan lahan,” ucap Tito.
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menyambut baik aplikasi ASAP Digital dalam menangani karhutla di Tanah Air. Aplikasi ASAP Digital yang memuat berbagai macam informasi terkini (realtime), seperti data visual (CCTV), kondisi udara, hotspot serta data prakiraan cuaca yang dapat dimanfaatkan untuk pencegahan karhutla. Keunggulan dari aplikasi ASAP Digital antara lain, dapat memantau adanya asap yang bersumber dari api. Berkat kecepatan informasi yang diterima petugas di Command Center, tim satgas karhutla bisa secara dini dikerahkan ke lokasi melakukan pengendalian dan pemadaman.
Marsekal Hadi pun mengucapkan terima kasih kepada Kapolri atas inisiasi transformasi penanggulangan karhutla menggunakan aplikasi ASAP Digital yang tentunya dengan inovasi ini pelaksanaan penanggulangan karhutla akan lebih optimal. “Saya harap komunikasi, koordinasi dan kolaborasi lintas sektoral dalam penanggulangan karhutla menjadi lebih baik dan efektif,” ujarnya dalam siaran persnya. Apresiasi uga datang dari Komisi III DPR RI menyampaikan kekagumannya atas kesungguhan Polri dalam menangani kebakaran hutan di tanah air. Selain dengan melakukan operasi dan penjagaan di lapangan, Polri juga merilis aplikasi ASAP yang akan berisi berbagai informasi terkini dalam menanggulangi Karhutla, mulai dari data visual (CCTV), kondisi udara, hotspot, hingga data prakiraan cuaca. Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Komisi III DPR RI asal Fraksi Partai NasDem Ahmad Sahroni menyampaikan kekagumannya. Menurut Sahroni, aplikasi ini merupakan salah satu terobosan cemerlang yang akan sangat bermanfaat dalam membantu meminimalisir terjadinya karhutla di berbagai titik di tanah air.
“Saya sangat kagum dan apresiasi sekali terobosan dari Polri atas aplikasi ASAP. Ini memperlihatkan kesungguhan Polri dalam menjaga masyarakat bukan hanya soal kriminal dan keamanan, namun juga keselamatan dari bencana seperi karhutla,” ujar Sahroni, kepada wartawan, Jakarta, Rabu (15/9/2021). Lebih lanjut, Sahroni menyebut bahwa aplikasi ASAP merupakan terobosan yang sangat inovatif dari Kapolri, dan tentunya sangat bermanfaat dalam upaya meminimalisir kejadian karhutla di tanah air.
Pelaksanaan di Daerah
Deputi Bidang Koordinator Kamtibmas Kemenpolhukam Armed Wijaya mengatakan aplikasi ASAP Digital perlu penyempurnaan untuk dijadikan aplikasi penanganan Karhutla secara nasional. Hal tersebut disampaikan Armed Wijaya saat membuka Rapat Koordinator penanganan karhutla di Jambi yang hadiri, Kapolda Jambi Irjen Pol. A. Rachmad Wibowo, Danrem Gapu /042 Brigjen TNI Zulkifli, Sekda Provinsi Jambi Sudirman, Kepala BPBD Bachyuni dan unsur Forkompinda Provinsi Jambi. Armed Wijaya bersama Kapolda Jambi Rachmad Wibowo menyampaikan bahwa Polda Jambi dalam penanganan karhutla lebih mengedepankan pencegahan dan selain itu juga dilakukan penegakan hukum terhadap pelaku karhutla.
Polda Jambi selain terus menggunakan aplikasi ASAP Digital digital bersama pihak terkait juga menjalankan dan melakukan revitalisasi sekat kanal di lokasi gambut yang merupakan daerah rawan karhutla di Desa Kumpeh, Muaro Jambi. Diketahui, Polda Jambi juga memiliki aplikasi ASAP Digital berupa pemantauan jarak jauh lewat kamera CCTV di lokasi yang dianggap rawan karhutla. Lewat aplikasi ASAP Digital sangat membantu personel di lapangan dalam menuju titik munculnya api. Sehingga, pencegahan karhutla dapat dilakukan secara maksimal. “Untuk itu perlu penyempurnaan dari aplikasi ASAP Digital ini sebelum dinaikkan menjadi aplikasi secara nasional dalam penanganan karhutla tahun ini,” kata Armed Wijaya.
Sementara itu, Kapolda Jambi, Irjen Pol A. Rachmad Wibowo mengatakan, kita tetap melaksanakan upaya seperti yang disampaikan Bapak Presiden dalam mencegah dan mencari solusi permanen dan kami sudah melakukan sebuah program di Polda Jambi ini yaitu program pencegahan karhutla. “Kalau penanggulangan berarti ada pemadamannya juga, jadi kami lebih konsen kepada pencegahan,” katanya. Faktor utama karhutla di Jambi, kata Kapolda tidak lain disebabkan oleh ulah manusia dan salah satunya dalam pembukaan lahan dengan cara membakar. “Kami sudah melakukan inovasi dan menempatkan personel sejak Februari lalu dan sampai hari ini mereka akan tetap berada di sana dan seterusnya sampai nanti musim panas dan mereka disana berdampingan bersama-sama dengan masyarakat sekaligus mengedukasi warga,” kata A Rachmad Wibowo.Sementara itu, ketua DPRD Provinsi Jambi Edi Purwanto menegaskan pihaknya mendukung penuh upaya penanggulangan di provinsi Jambi salah satunya adalah mengalokasikan dana. “Kita bekerja bersama-sama dalam penanggulangan kebakaran di provinsi Jambi, Insya Allah dapat kita lakukan secara maksimal,” kata Edi Purwanto.
Karhutla Masih Jadi Masalah Serius
Hingga saat ini, kasus karhutla masih menjadi masalah serius di Indonesia. Misalnya saja sepanjang Juni-Juli 2021, karhutla di Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, mencapai 25,8 hektare. Sementara pada Maret 2021, karhutla menghabiskan 17,5 hektare di Nagan Raya, Aceh. Sejak kebakaran dahsyat yang melenyapkan 2.611.411,44 hektar hutan dan lahan di Indonesia pada 2015, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) memang berhasil ditekan, namun nahas tiga tahun berselang karhutla kembali membabi buta. Pada 2018, lebih dari 529 ribu hektar hutan dan lahan terbakar, tiga kali lipat dari rekapitulasi luas karhutla pada 2017. Setahun setelahnya karhutla kembali menimpa seluruh provinsi kecuali DKI Jakarta, menghanguskan 1,6 juta hektar hutan dan lahan. Jumlahnya bahkan melebihi akumulasi luas karhutla pada 2016-2018.
Kendati Februari 2020, Presiden Jokowi telah memberlakukan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2020 sebagai upaya penguatan pencegahan dan penegakan hukum dalam menanggulangi karhutla di Indonesia, karhutla kembali terjadi sepanjang tahun ini. Pantauan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memperlihatkan hingga akhir September 2020, api telah membakar lebih dari 120 ribu hektar hutan dan lahan di 32 provinsi. Enam provinsi langganan karhutla pun lagi-lagi tak bisa mengelak dari bencana klimatologi ini. BNPB merangkum, Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, telah menerapkan status siaga darurat menyusul terjadinya karhutla di masing-masing provinsi. Di Riau, karhutla terpantau di sejumlah wilayah kabupaten, seperti Dumai, Bengkalis, Meranti dan Indragiri Hilir. KLHK mencatat, luas karhutla di ptovinsi ini telah mencapai 15 ribu hektar, lebih luas dari total karhutla di seluruh pulau Kalimantan yakni 12 ribu hektar. Sementara luas karhutla di Sumatera Selatan dan Jambi tergolong rendah, masing-masing berkisar 800 dan 500 ribu hektar.
Luas karhutla yang terjadi dari awal tahun hingga akhir September 2020 memang jauh lebih rendah dibanding tahun sebelumnya. Pada periode Januari-September 2019, luas lahan dan hutan yang terbakar mencapai 857 ribu hektar. Pantauan satelit Aqua, Terra, NOAA20 dan SNPP yang dioperasikan Lembaga Penerbangan dan Antartika Nasional (LAPAN) juga menunjukkan adanya penurunan jumlah sebaran titik panas atau hotspot selama Agustus-September tahun ini. Tak hanya itu, BMKG juga memprediksi adanya potensi La Nina yang mengakibatkan kenaikan curah hujan di beberapa wilayah Indonesia saat musim hujan nanti. Ini adalah angin segar mengingat hujan merupakan pahlawan dalam tragedi karhutla, namun Indonesia masih harus waspada melewati penghujung 2020. Pasalnya, data-data historis yang ada memperlihatkan puncak karhutla umumnya terjadi setiap Oktober, terlebih musim hujan 2020/2021 juga baru akan dimulai secara bertahap pada akhir Oktober. BMKG dalam Press Release-nya memperkirakan awal musim hujan di pulau Jawa, Kalimantan, Sumatra, dan Sulawesi berkisar pada Oktober-Desember sedangkan untuk wilayah Papua, Nusa Tenggara dan Maluku baru akan mulai diguyur hujan pada November – Desember.
Karhutla di bumi pertiwi telah menjadi bencana tahunan sejak fenomena El Nino terkuat menimpa kawasan Asia Tenggara pada 1997-1998. Pada periode itu, Indonesia juga mengalami karhutla hebat yang menghanguskan 11,8 juta hektar hutan dan lahan. Kendati demikian, El Nino hanyalah salah satu sumber panas yang memantik atau memperparah karhutla. Faktor lain yang juga memperbesar resiko terjadinya karhutla diantaranya, sebaran titik panas, kemarau dan utamanya akibat ulah manusia. BPS dalam “Statistik Lingkungan Hidup 2019” mencatat, konversi hutan masih dianggap primadona bagi perekonomian Indonesia dalam lima dekade terakhir. Pada periode 1966 sampai 1980-an, sejumlah kawasan hutan Indonesia dikabarkan terus berkurang seiring dengan meningkatnya produksi kayu dalam negeri, Indonesia bahkan tercatat sebagai produsen kayu lapis dan eksportir kayu bulat terbesar di dunia selama periode tersebut. Kini fenomena yang sama kembali berulang, BPS mencatat produksi kayu bulat di Indonesia kembali mengalami peningkatan selama kurun waktu 2014-2018. Pada periode tersebut produksi kayu bulat meningkat 16,07 juta meter kubik dari yang sebelumnya 31.90 juta pada 2014 menjadi 47,97 juta meter kubik pada 2018. Di saat bersamaan, data KLKH yang termuat dalam publikasi sebelumnya memeperlihatkan adanya penurunan luas lahan berhutan yang signifikan selama periode 2011-2018. Seluas 5,2 juta hektar lahan berhutan hilang hanya dalam waktu tujuh tahun akibat perubahan fungsi dan peruntukkan lahan.
Adapun penurunan luas lahan berhutan yang ekstrem pada kurun waktu itu terjadi pada 2012-2013 yakni sebesar 1,7 juta hektar. Saat itu juga produksi hasil hutan seperti kayu gergajian, kayu lapis, bubur kertas, lembaran vinir, papan partikel dan papan serat turut meningkat pesat. Produksi kelapa sawit juga dilaporkan mengalami peningkatan selama 2011-2015. BPS dalam “Statistik Lingkungan Hidup 2017” mencatat, produksi kelapa sawit Indonesia meningkat 35,45 persen dan mencapai 31,28 juta ton pada 2015, ketika Indonesia kembali merasakan karhutla terhebat dalam satu dekade terakhir. Saat itu areal perkebunan sawit ikut bertambah luas, meningkat 25,66 persen menjadi 11,30 juta hektar dari yang semula hanya seluas 8,99 juta hektar pada 2011.
Padahal hutan berfungsi menyangga iklim, menjaga sistem tata air dan daya ikat tanah serta sumber keanekaragaman hayati. Catatan BPS dalam “Statistik Lingkungan Hidup 2015” menyatakan hutan mampu menyerap 15 persen emisi karbon yang berasal dari aktivitas manusia setiap tahunnya. Sebagai negara tropis, hutan Indonesia memiliki hamparan hutan yang mampu menjaga keseimbangan iklim dunia. Luas tutupan hutan Indonesia pula yang menopang pasokan oksigen.
Hutan Indonesia juga merupakan rumah bagi keanekaragaman hayati, lebih dari 389 ribu jenis fauna dan 110 ribu jenis flora hidup berdampingan di hutan. Bagi sebagian penduduk Indonesia, hutan merupakan sumber penghidupan. Pendataan Potensi Desa BPS 2018 menunjukkan, sekitar 8.643.228 rumah tangga tinggal di dalam dan tepi hutan. Mereka tersebar di 2.768 desa yang berlokasi di dalam hutan dan 18.617 desa di sekitar hutan. Akibatnya kala karhutla melanda, mereka menjadi yang pertama kalang-kabut.
Efek Domino Karhutla
Permasalahan karhutla sangat berpengaruh terhadap terdegradasinya hutan dan tanah, kesehatan dan sosial ekonomi masyarakat. Efek langsung yang pertama dirasakan masyarakat dari karhutla adalah polusi udara. Apabila api membakar begitu besar kawasan berhutan dalam waktu yang lama, maka asap akan menjadi sangat tebal yang kemudian disebut kabut asap. Selama musim kebakaran, kabut asap tak hanya akan menyelimuti kota-kota yang berdekatan dengan kawasan terbakar tapi juga memasuki wilayah negara tetangga.
Kabut asap dapat menimbulkan sejumlah gangguan kesehatan pada manusia seperti iritasi mata dan kulit, batuk, radang tenggorokan, mengganggu fungsi jantung akibat penumpukan plak dalam pembuluh darah, memperburuk kesehatan penderita asma dan penyakit paru kronis lainnya hingga menimbulkan infeksi saluran pernapasan akut atau ISPA. Pada ranah sosial dan ekonomi, kabut asap yang tebal menyebabkan sejumlah aktivitas masyarakat terkendala. Sekolah dan aktivitas perekonomian, misalnya, terpaksa diberhentikan sementara. Pada skala nasional, kerugian ekonomi akibat karhutla juga tak tanggung-tanggung. Tahun 2019 lalu kerugian akibat karhutla ditaksir sebesar Rp75 triliun, sementara pada karhutla hebat 2015 kerugian mencapai Rp221 triliun.
Degradasi sendiri adalah terjadinya proses penurunan produktivitas suatu lahan baik yang bersifat sementara maupun tetap. Ini karena kebakaran secara langsung dapat membunuh mikroorganisme tanah yang bermanfaat untuk dekomposisi tanah. Lahan-lahan tidak produktif atau yang biasanya disebut lahan kritis ini biasanya akan dibiarkan terlantar begitu saja.
BPS dalam “Statistik Lingkungan Hidup 2019” mencatat, luas lahan kritis di Indonesia pada 2013 mencapai 24,3 juta hektar dimana 15,5 juta hektar berlokasi di dalam wilayah berhutan. Lahan kritis juga lebih banyak ditemui di provinsi darurat karhutla. Di Riau terdapat sekitar 1,9 juta hektar lahan kritis, sementara lahan kritis terluas ditemui di Kalimanta Tengah yang mencapai 5,1 juta hektar, disusul Papua dan Sumatra dengan 2,2 dan 1 juta hektar. Kondisi lahan kritis juga bersumbangsih terhadap hilangnya tutupan hutan atau yang dikenal sebagai deforestasi. Deforestasi menyebabkan hutan kehilangan tutupan pepohonan dengan kerapatan tertentu. Umumnya, provinsi-provinsi yang mengalami degradasi lahan juga mengalami deforestasi cukup tinggi.
BPS mencatat deforestasi terluas terjadi di pulau Sumatra sebesar 519 ribu hektar atau setara dengan 47,5 persen dari total deforestasi di Indonesia pada 2014-2015. Kabar baiknya, kini laju deforestasi di Indonesia menunjukkan penurunan sejak 2015, dari 1,09 juta hektar menjadi 0,44 juta hektar pada 2017-2018. Deforestasi terluas masih terjadi di pulau-pulau dengan kondisi lahan kritis yang luas seperti Kalimantan dan Sumatra, dengan 65,6 dan 56,8 ribu hektar lahan dalam hutan yang terdeforestasi. Degradasi lahan juga membuat tanah kehilangan fungsi hidrologisnya. Hutan tak lagi mampu menyerap air dalam jumlah besar dan memaksimalkan simpanan air tanah. Akibatnya, akan terjadi kekeringan ketika kemarau dan banjir hingga tanah longsor saat musim hujan. Dampak ini sebenarnya sudah dirasakan sebagian penduduk Indonesia. Akhir Januari ini, BNPB mengemukakan karhutla yang menimpa kawasan hulu pegunungan Ijen pada 2019 lalu berkonstribusi terhadap banjir bandang di Ijen. Ironisnya, menurut Nina dalam bukunya Pengenalan Bencana Kebakaran dan Kabut Asap Lintas Batas (2018), laju degradasi lahan sendiri turut menjadi faktor penyebab terjadinya karhutla di Sumatra dan Kalimantan.
Tidak berhenti sampai di situ, karhutla turut menyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) dalam jumlah yang sangat besar. Dalam “Statistik Lingkungan Hidup 2019” BPS mencatat, karhutla merupakan sektor penyumbang emisi terbesar terhadap GRK nasional pada 2015. Kala itu kebakaran lahan gambut menghasilkan 712.602 Gg CO2e. Setelahnya, emisi GRK akibat karhutla berangsur-angsur menurun selaras penuruan luas karhutla. Pada 2016, emisi dari kebakaran lahan gambut menurun menjadi 90.267 Gg CO2e dan menurun lagi menjadi 12.513 Gg CO2e pada 2017. Tak hanya melepaskan emisi GRK, kehilangan hutan tropis berarti kehilangan sumber daya yang mampu menyerap karbondioksida dari hasil aktivitas manusia.
Itulah mengapa kebakaran dan kerusakan hutan sangat berdampak bagi kehidupan manusia dan keseimbangan alam. Manusia membutuhkan hutan sebagai sumber penghidupan dan peredam perubahan iklim yang kian mengkhawatirkan. Perlindungan terhadap hutan seharusnya bukan hanya terhadap komoditas barang bernilai ekonomis yang dapat hutan hasilkan tapi juga terhadap kualitas ekosistem hutan itu sendiri. Penting untuk memastikan kawasan hutan tetap sebagaimana mestinya, tidak mengalami perubahan fungsi atau sampai kehilangan tutupannya, demi kelestarian lingkungan.
SKB Perkara Karhutla
Polri, Kejaksaan Agung, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) perihal penegakan hukum terpadu perkara kebakaran hutan dan lahan (karhutla). “Dalam kegiatan karhutla antara tahun 2019 dengan 2020 ada penurunan 81 persen titik api maupun luas lahan yang terbakar. Intinya, ada dua kegiatan yaitu pencegahan dan penegakan hukum,” ujar Kadiv Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono di Mabes Polri, Kamis (6/5/2021). Penurunan itu dari 27.758 titik api pada 2019, menjadi 2.875 titik api pada tahun berikutnya.
Pada ranah pencegahan, Polri berkolaborasi dengan beberapa kementerian dan perusahaan lain. Contohnya, memasang kamera pengawas dalam radius dan jarak perbesaran tertentu, sehingga petugas dapat melihat pembakar hutan yang tidak tertangkap tangan. Selain pemasangan alat pantau, petugas juga mendirikan posko terpadu. “Ada juga patroli dan edukasi yang kami gunakan. Semua menggunakan teknologi informasi untuk mempermudah,” imbuh Argo.
Salah satu hasil penerapan teknologi yakni mengetahui titik api. Selanjutnya, perihal penegakan hukum. Setelah Polri rampung penyelidikan dan penyidikan, maka akan berkoordinasi dengan Kejaksaan guna proses hukum lanjutan. Saksi ahli, petunjuk lain, bakal dikomunikasikan agar berkas perkara tidak bolak-balik dikembalikan. Argo bilang, sesuai dengan Instruksi Presiden agar pencegahan dan penegakan hukum dilakukan secara terpadu. Pada kategori strategi penanggulangan, yang dilakukan petugas adalah upaya pencegahan dan aksi dini, membangun Geospatial Analytics Center dan menara pantau, meningkatkan patroli, edukasi dan sosialisasi. Selanjutnya, penataan pengelolaan ekosistem gambut dapat diupayakan dengan pengendalian hidrologi, misalnya, bersama pemerintah membangun kanal dan embung. Kemudian, kategori pengendalian dan pemadaman titik api, petugas dapat menyiapkan brigade pengendalian karhutla dan memaksimalkan fungsi posko karhutla. Demikianlah berbagai upaya penanggulangan yang dilakukan berbagai instansi terkait termasuk Polri untuk mencegah dan mengatasi karhutla yang masih saja terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Semoga upaya-upaya untuk memperbaikinya semakin membawa hasil dan membawa dampak yang positif bagi kualitas hidup di Indonesia. Khususnya dalam menjaga kelestarian hutan beserta isinya. (EKS/KAMAberbagai sumber)
Baca juga : Kebebasan Berekspresi, Berkumpul Berpendapat, dan Hak Informasi Dari Masa ke Masa