Ulang tahun kali ini mengangkat tema “SETAPAK PERUBAHAN, Catatan Perubahan Satu Tahun Polri Presisi”.
Usungan tema ini mempunyai dua nilai cita: pertama, cita rasa nilai kesederhanaan: Perhatikan kata ‘setapak’, ya setapak saja, tak muluk-muluk. Dan, kedua cita rasa nilai refleksitifas: perhatikan term ‘catatan perubahan’, bukan sebuah penegasasn keberhasilan yang (sok) hebat, tetapi hanya catatan reflektif. Tulisan pendek ini distimuli tajuk Ulang Tahun Bhayangkara ke-76 yang sederhana itu namun mengandung kedalaman makna: ajakan berefleksi.
Berbeda dengan usungan tema tahun tahun sebelumnya, perbedaan tema ini bukan sekedar pergegseran semantik tanpa makna agregatif dan zaman. Tugas ilmu sosial strukturalis adalah melacak (pola) yang menyertai pergeseran ini. Bandingkan secara berturut turut tiga tahun kebelakang — atau barangkali bisa ditarik lebih kebelakang lagi – tema tema itu cenderung bercita rasa ‘normatif’ dan mengandung subordinativ konjungsi. Konjungsi subordinatif mengingatkan kita akan tema ala perayaan “tujuhbelasan” yang selalu menggunakan term seperti ‘mendukung’, ‘guna’, ‘untuk’, ‘dalam rangka’, dan seterusnya.
Berikut tiga tema tahun berturut turut : Tahun 2021, “Transformasi Polri yang Presisi Mendukung Percepatan Penanganan COVID-19 untuk Masyarakat Sehat dan Pemulihan Ekonomi Nasional Menuju Indonesia Maju” ; tahun 2020, “Kamtibmas Kondusif Masyarakat Semakin Produktif”; Tahun 2019, “Dengan Semangat Promoter Pengabdian Polri Untuk Masyarakat Bangsa Dan Negara”.
Sekali lagi, perhatikan ketegasan perbedaan pada tema tersebut. Tema ulang tahun Bhayangkara ke-76 kali ini keluar dari mainstream tema-tema sebelumnya — meminjam terminology penelitian — yaitu: hanya satu variable! “Setapak Perubahan, Catatan Perubahan Satu Tahun Polri Presisi”. Apakah ‘pergesaran’ dari yang biasa ini cacat tematik ?
Baca Juga : HUT Bhayangkara Ke-76, Upaya Mempertahankan Prestasi Polri
Nanti dulu! Tema ulang tahun Bhayangkara ke-76 yang sederhana ini mengajak kita berefleksi tentang hakekat manusia Indonesia yang hidup dari APBN bertajuk Polisi. Tidak ada pakem bahwa satu variable dimaknai ‘kurang berkualitas’ ketimbang dua, tiga, dan empat variable.
Tentu, kualitas bukanlah soal jumlah. Bahkan, kesederhanaan kemasan tajuk satu varaiabel bukan sekedar mengandung kedalaman makna tetapi sekaligus substansinya bisa ditarik seribu maf’ul (obyek). Satu variable ini mengekspresikan makna bahwa: keberhasilan sebuah perayaan ulang tahun bukanlah pada gebyar dan hingar bingar; tetapi pada khidmat. Inilah, jangan-jangan instrumen nilai kesejatian yang luput dari kita selama ini.
Kita seperti lupa bahwa hingar bingar perayaan dapat melumpuhkan rasa khidmat. Nuansa materialistic dalam lekatan hingar bingar pesta ulang tahun bisa membuat kita bebal. Bebal lantaran tak lagi mampu memahami bahwa peringatan ulang tahun bukanlah celebration, yang kemudian menyedot kerja raksasa birokratik. Bebal, lantaran tidak lagi sensitive atas sejatining manungso, nilai nilai kesejatian sebagai abdi negara dan pelayan masyarakat.
Tak gampang melumerkan otot yang telah terbiasa terformat obsesi gebyar sebagai pengukur sebuah peringatan. Padahal, ulang tahun adalah ikhwal menundukan kepala: hening. Hanya melalui hening hikmat dapat disapa.
Baca Juga : Jargon Polri Presisi Berhasil Ubah Kultur dan Tumbuhkan Kepercayaan Publik
Hening inilah kosa kata yang hilang sejak manusia mengenal modernitas. Jaman iku owah gingsir, ujar Ki Ageng Suryomentaram. Zaman bergerak dinamis. Tugas kemanusiaan adalah meneguhkan standar moral agar tak turut bergerak bersama geraknya zaman. Di sinilah persoalan kita, era dimana instrumen mengenali ajaran moral turut menyempit. Ruang hening tak lagi mempunyai tempat, sensitifitas moral turut tersumbat.
Hening dalam perayaan memang bukan ruang sosio-psikologis untuk melancarkan lidah mengartikulasi sejumlah konsep mentereng seperti: modernisasi kepolisian, Polmas, collaborative policing, menejeman strtegik, restorative justice, Analisa SWOT, atau Teori Gunung Es dan semacamnya.
Hening adalah muhasabah; soal aktivasi rasa yang mengevaluasi karsa dan karya. Hanya melalui hening manusia polisi sanggup mengasah rasa dan apa yang dirasa sang tuan yang akan dilayani. Term yang amat digemari Prof. Chrisnanda, “Polisi membangun peradaban” pada ghalibnya bukanlah soal urusan otak belahan kiri; ia adalah soal hati dan belahan otak kanan.
Saya paham, penyerang proposisi ini menggunakan peluru modernitas, bahwa modernitas dan profesionalitas membangun jarak dari rasa. Serangan semacam ini kadaluarsa. Mengapa? Bukan hanya pengetahuan manusia tentang teori (fisika) kuantum yang meruntuhkan (fisika) modern; dalam ilmu sosial meskipun agak terlambat juga merevisi apa yang dimaksud sasaran modernitasnya. Meminjam cara pikir Sosiolog Jerman Ulrich Beck, separuh janji modernitas sebenarnya omong kosong.
Baca Juga : Aksi 21 Mei 2022: Antara Aman Dan Rusuh
Hening bukan hanya sekedar hilang dari belahan otak kanan rata-rata profesi polisi yang mulia, tapi hingar-bingar selama ini hampir merata di seluruh abdi negara dan masyarakat. Sublim: mana abdi mana yang diabdi; yang diabdi acap mengabdi pada abdi.
Sejatining polisi adalah sejenis manusia yang mengembalikan ruang hening yang digilas zaman: menjernihkan keruhnya peran antara abdi dan yang diabdi. Disinilah, dalam kerangka legal-formal maupun legitimatif profesi polisi perhimpitan dengan panggilan profetik.
Hening itu bapak kebajikan (wisdom) dan kebenaran (truth), beristrikan rasionalitas. Kita-kita yang beruntung mengecap bangku sekolahan paham bahwa polisi bukanlah soal status tetapi fungsi.
Kepahaman ini mengandung beban moral. Tak perlu adigang adigung kalau kawan kita yang tak berlencana acap bisa lebih fungsional. Beginilah cara kita berefleksi! Dulu, beberapa tahun lalu bersamaan ulang tahun kita ini, sahabat kita KontraS, biasanya turut membeberkan kinerja kita selama setahun berjalan. Kita dibantu mengetahui wajah kita melalui cermin yang dipakai orang lain. Kini, tak lagi, jadi kita memang musti pandai hening berefleksi diri.
Hening adalah PR besar peradaban dan kemanusiaan hari ini. Tajuk Ulang Tahun Bhayangkara Ke-76 yang sederhana ini bagi saya adalah ajakan hening. Bukan perayaan pesta pora yang hingar bingar.
Baca Juga : Berawal dari Majapahit Sejarah Terbentuknya Korps Bhayangkara Polri
Hanya melalui hening manusia yang mendaku polisi sanggup menangkap ruh persoaalan agregat manusia yang diabdi. Kejahatan memang tak berkurang melalui hening; tetapi tanpa hening mustahil sanggup memahami beda kejahatan dengan kebaikan. Modernitas acap mengaburkan keduanya.
Hening adalah instrumen yang menghubungkan jati diri. Memahami jati diri polisi yang profetik (sahabat saya lebih suka menggunakan term ‘polisi profesional’) mustahil tanpa ruang hening. Tugas polisi yang otentik pada akhirnya adalah mengembalikan kemanusiaan yang tercabik materialisme. Kejahatan acapkali lahir bukan lantaran karakter jahat sang pelaku; tetapi lantaran marjinalisasi sosial.
Kita paham di luar kepala hal ini melalui sosiolog Robert K. Merton. Tetapi tentu membaca Merton bukan untuk mentoleransi tindak jahat; tetapi untuk mengerti bahwa kejahatan itu kompleks, tak sesederhana dalam narasi regulasi dan referensi yang kelihatan mentereng itu.
Hening ini posisi moral. Ia mengandaikan kepahaman bahwa diri personal bagian dari agregasi sosial yang berundak. Loyalitas diletakan pada agregasi sosial yang berundak itu. Betapapun kecintaan kita pada agregat profesi, ia harus mengalah dari agregat sosial yang lebih besar, yaitu kebangsaan dan nasionalisme. Jangan khawatir, fomat kebangsan dan nasionalisme tak bakalan bertabrakan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Bahwa: menjadi polisi yang professional bisa secara otomatis menjadi pemeluk agama yang sholeh, sekaligus menjadi seorang Pancasilais. Selamat Ulang Tahun Bhayangkara Ke-76. (SS, Sosiolog)
Penulis : Dr. Sutrisno