Bhayangkarakita .com – Jakarta – Bertepatan dengan momentum Reformasi, Akan ada aksi 21 Mei 2022, sejumlah elemen masyarkat buruh, seprti Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) Dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Federasi Serikat Pekerja, Aliansi Serikat Buruh Indonesia, dan lain-lain akan kembali menggelar demo.
Sebelumnya, pada tanggal 14 Mei 2022 sejumlah aliansi buruh menggelar aksinya dalam rangka memperingati Hari Buruh International di kawasan Gelora Bung Karno (GBK).
Namun, angka 21 Mei dipandang istimewa karena mempunyai momentum reformasi. Sebagai negara demokrasi otoritas pemerintah dan intrumen keamanan dituntut membrikan pelayanan atas aksi penyampaian aspirasi ini.
Meskipun persoalannya dalam kerangka praksis di lapangan wajah aksi bisa saja bergeser. Sebagaimana dilaporkan sejumlah media tentang kemkungkinan pergeseran issue aksi: dari aksi mengeksprsesikan tuntutan buruh ke issue politik. Misalnya saja sinyalemen yang disampaikan Wakil Ketua MPR RI, Jazilul Fawaid tentang kemungkinan aksi unjuk rasa yang menimbulkan kerusuhan dan mengususng issue pemakzulan terhadap pemerintahan Jokowi.
Pandangan Wakil Ketua MPR ini bukan tanpa alasan, karena pada aksu unjuk rasa sebelumnya beredar spanduk yang terbentang mendesak Jokowi mundur dari jabatan Presiden Republik Indonesia. Artikel ini konsentrasi pada kemungkinan pergeseran issue demo hingga kemungkinan hadirnya kerusuhan pada 21 Mei 2022 itu.
Secara normatif, aksi itu akan mengusung paling tidak tiga poin utama sebagai bagian dari perjuangan buruh. Tiga poin ini dipandang subtantif kepentingan buruh, dan pada dasarnya tiga poin ini acap diulang-ulang pada setiap momen ikhwal perburuhan. Meskipun demikian issue tuntutan buruh secara parsial tidak selalu sama di setiap wilayah provinsi, tetapi tiga poin sebagai perjuanangan buruh pada level nasional tetap sama.
Misalnya saja, Jawa Barat terdapat poin menolak gugatan TUN Apindo Jawa Barat mengenai Pembatalan KEPGUB Kenaikan Upah pekerja/buruh dengan masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih. Ini misal saja issue monor di wilayah Jawa Barat. Tiga tuntutan ini dianggap sebagai.
Pertama, menolak revisi Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Revisi undang undang ini dipandang pintu melegalkan metode Omnibus Law UU Cipta Kerja, tanpa memperbaiki substansi sebagaimana diminta Mahkamah Konstitusi.
Poin kedua adalah meminta klaster ketenagakerjaan dikeluarakan dari Undang Undang Cipta Kerja. Dan, yang ketiga, menolak revisi Undang Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja Serikat Buruh.
Baca Juga : Tragedi Pendemo Mengamuk dan Serang Polisi
Analisis
Sejarah mencatat peringatan hari buruh, kalau tidak bisa dikatakan sebagai ekspresi “perlawanan” terhadap status quo, adalah hari dimana jalan-jalan protocol dipadati long march, orasi jalanan dengan tuntutan kenaikan upah. Proposisi ini menegaskan bahwa peringatan hari buruh dari sisi ‘jiwa massa’ merupakan kerumunan yang akrab terhadap kerusuhan. Femomena ini bukan khas milik Indonesia.
Narasi yang diusung hampir selalu menyangkut issue normatif: kenaikan upah. Sebagai kelompok kepentingan usungan semacam ini masih dalam bingkai koridor, sehingga issue klasik-normatif ini secara teoritik tak bakal hilang. Tetapi belakangan bukan melulu mengangangkat issue normatif itu. Disinilah persoalannya: issue demo bisa melebar. Sebetulnya pelebaran issue ini bukan tanpa arah, justru arahnya bisa diduga, poinnya menjadi issue politik.
Tentu saja, dalam alam demokrasi pergesean issue ini “biasa” saja. “Biasa”, menggunakan apostrop maksudnya sekedar untuk mengatakan ‘bisa saja terjadi’, meskipun belum tentu mempunyai sifnifikansi moral. Signifikansi moral ini sangat penting bagi sebuah gerakan dalam alam demokrasi.
Maka, yang menjadi persoalan, apakah pergeseran issue dari normatif perburuhan ke issue pelengseran presiden sebagaimana dikhawatirkan seorang wakil MPR ini memang mempunyai koherensi moral, atau dapat dipertanggungjawabkan?
Pertanyaan semacam ini untuk mengukur kemungkinan perilaku (‘kekerasan’) yang terjadi di lapangan. Dan, lebih mendasar pertanyaan ini digunakan mendeteksi dan menimbang sejauh mana gerakan yang akan dilakukan sekelompok orang dalam hubungannya dengan hajat publik (politik) itu mempunyai legitimasi moral (baca: moral demokrasi).
Sekali lagi, legitimasi moral bagi gerakan ini sangat penting. Mengapa ? Karena secara teoritik gerakan yang rela melakukan kekerasan dan mengorbankan darah selalu mempunyai legitimasi moral. Proposisi ini harus dibaca jeli karena ada perkecualiannya, bahwa tentu ada gerakan yang tak mempunyai legitimasi moral juga rela menumpahkan darah.
Sosiolog Italia Antonio Gramsci menggunakan konsep hegemoni untuk menjelaskan fenomena yang aga janggal ini. Hegemoni adalah istilah yang digunakan Gramsci untuk menjelaskan fenomena penguasaan kesadaran masyarakat oleh kelompok-kelompok elit.
Prinsipnya, kesadaran masyarakat, cara masyarakat memehami realitas dikendalikan secara ‘persuasif’ oleh elit. Instrumen higemonik ini bisa macam-macam, sejak dari konsep demokrasi itu sendiri hingga agama. Inilah biasa terjadi pada gerakan yang menggunakan agama sebagai instrumen perjuangan. Radikalisme diluar batas kemanusiaan bisa hadir dari kalangan orang-orang “sholeh”. Di luar issue agama, terjadi melalui keterlibatan actor (=actor intelektual) yang memelintir realitas dalam bentuk hegemoni.
Penulis masih mempercayai sebagaimana merujuk Max Weber tentang tindakan rasional dan Ralf Dahrendorf tentang moralitas universal, bahwa akal sehat dan moralitaslah yang merupakan muara keberpihakan rakyat. Dengan demikian pembelokan issue dari persoalan buruh ke issue politikt sebagaimana disinyalir wakil Ketua MPR di atas adalah dengan sendirinya menabrak akal sehat alias moral demokrasi. Istilahnya, cacat moral, sekali lagi tak laku bagi gerakan sosial.
Mengapa menabrak akal sehat tidak efektif bagi gerakan ? Karena, pembelokan issue semacam itu secara subtantif mematahkan kepentingan normatif buruh yang sedang mereka perjuangkan itu sendiri. Meminjam konstruksi metodik sosiologi Max Weber, rasionalitas merupakan pusat dalam memahami kepentingan gerakan. Gerakan yang menodai rasionalaitas akan mudah mencair.
Tak ada gerakan massa tanpa kepentingan, sebagaikana tak ada kepentingan tanpa akal sehat. Issue subtantitfnya bukan terletak pada presiden, tetapi pada regulasi. Toh adalah fakta bahwa pemerintah dan DPR-pun kalah dalam ‘pertarungan’ di Mahkamah Konstitusi dalam UU Omnibus Law melalui putusan Mahkamah Konstitusi MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
MK melalui putusannya memerintahkan DPR dan Pemerintah untuk memperbaiki UU Cipta Kerja. Inilah demokrasi! Dengan demikian, sekali lagi, membelokkan gerakan May Day kepada issue istana secara terang benderang mengingkari akal sehat, dan otomatis menabrak moral demokrasi.
Ok-lah, marilah mengandai-andai bahwa ‘gerakan’ turunkan presiden ini tetap hadir pada hari itu. Maka, atas nama akal sehat dan moral demokrasi pula issue ini merupakan susupan, dan May Day menjadi tunggangan. Persoalannya, seberapa besar pengusung issue ini ? Bagi penulis, karena masih mempercayai ‘kekuatan’ akal sehat maka harus menyebut bahwa kelompok ini tidak besar.
Baca Juga : Pengamat Kepolisian Luncurkan Buku Wajah Polisi Presisi
Point statement.
Pertanyaan yang sangat mendasar dalam kerangka keamanan publik adalah: seberapa kuatnya kemungkinan aksi radikalisme massa dalam May Day 21 Mei 2022 itu ? Pertanyaan semacam ini telah terjawab dalam uraian di atas. Analisis di atas menggunakan pendekatan Weberian, menelusuri isi rasionalitas yang bekerja di dalam gerakan.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa kemungkinan tindakan radikal pada perayaan May Day tahun ini 2022 sangat sempit. Atau, perayaan May Day tidak akan menimbulkan gejolak berarti. Masih ada perspektif lain untuk membaca prediksi kemungkinan hadirnya tindakan radikal di dalam keerumunan semacam demo atau perayaan, yaitu Tedd Robert Gurr.
Penulis : Dr. Sutrisno
Editor : Dian