Jozeph Paul Zhang, pria Indonesia yang terlacak berdomisili di Jerman mengaku sebagai nabi ke-26. Ia diduga telah mengunggah konten video yang bermuatan penistaan agama. Dalam video itu, Jozeph beberapa kali mengeluarkan kalimat yang dianggap mengolok-olok agama Islam. Jozeph sendiri telah resmi menjadi tersangka sejak Selasa (20/4/2021) lalu. Dia dijerat penyidik menggunakan Pasal 28 ayat (2) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta Pasal 156a KUHP. Kenapa kasus penistaan agama kerapkali terjadi di Indonesia? Apa saja kasus penistaan agama yang mencuat dan hukumannya? Apa kritik para pakar terhadap penanganan kasus-kasus penistaan agama tersebut?
Jakarta, 22 Desember 2021 – Bareskrim Polri telah memasukkan tersangka kasus penodaan agama Jozeph Paul Zhang dalam daftar pencarian orang (DPO). Kabareskrim Polri Komjen Pol Agus Andrianto menyatakan alasan pihaknya mengeluarkan DPO terhadap Jozeph Paul Zhang karena alat bukti sudah cukup. “Alat bukti sudah cukup, penyidikan sudah dilakukan, pelaku jelas. Kalau sedang di luar negeri, ya, kami terbitkan Daftar Pencarian Orang,” ujar dia ketika dihubungi wartawan, Selasa (20/4/2021). Perihal red notice, Bareskrim akan berkoordinasi dengan Divisi Hubungan Internasional Polri untuk kelanjutan penerbitan permintaan untuk menahan sementara buronan itu. Agus melanjutkan, berdasarkan penelusuran Polri, Jozeph masih berstatus sebagai warga negara Indonesia. “Sejak 2017-2021 tidak ada pengajuan pencabutan kewarganegaraan atas nama JPZ,” sambung dia. Kini Jozeph Paul Zhang diduga berada di Jerman. Selain itu, penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri menetapkan Jozeph sebagai tersangka kasus dugaan penodaan agama. Polisi pun telah memeriksa para ahli terkait video mencela itu di akun Youtube milik Jozeph Paul Zhang.
Para ahli yang diminta keterangan yakni ahli bahasa, ahli sosiologi hukum, ahli pidana. Keterangan mereka sangat berguna bagi penyidik untuk memastikan unsur tindak pidana. “Sudah ditetapkan sebagai tersangka,” tegas Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Rusdi Hartono. Polri menyatakan tersangka kasus dugaan penistaan agama Jozeph Paul Zhang terancam dideportasi dari Jerman setelah red notice terhadap dirinya sudah diterbitkan oleh Interpol. Red notice merupakan sebuah mekanisme berupa notifikasi permintaan dari satu negara anggota Interpol ke anggota lainnya–terdiri atas ratusan negara–untuk ikut mencari hingga menangkap buronan. “Jadi kemungkinannya, kuncinya setelah red notice dikeluarkan. Tentunya akan dikomunikasikan dengan pemerintah setempat,” kata Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Kombes Ahmad Ramadhan kepada wartawan di Mabes Polri.
Proses tersebut, kata dia, akan melalui sekretariat NCB Interpol Indonesia sehingga nantinya Interpol pusat yang berada di Kota Lyon, Prancis dapat segera menerbitkan red notice. “Indonesia dan Jerman tidak ada perjanjian ekstradisi. Tapi bukan berarti ada perbuatan pidana bangsa Indonesia di sana tidak bisa diproses, bukan begitu ya. Indonesia menganut asas teritorial dan nationality,” ucap Ramadhan. Saat ini, kata Ramadhan, penerbitan red notice masih diproses oleh Interpol yang diprediksi memakan waktu sekitar satu minggu. Pihaknya sudah menerbitkan surat daftar pencarian orang (DPO) untuk Jozeph usai menjeratnya sebagai tersangka.
Makin Banyak Setelah Reformasi
Kasus penistaan agama memang bukan hal baru di Indonesia. Menurut Halili Hasan, peneliti di Setara Institute sekaligus dosen Universitas Negeri Yogyakarta, menjelaskan dari hasil riset dilakukan Setara Institute, sepanjang 1965-2017 terdapat 97 kasus penistaan agama. Yang menarik, dia menambahkan, kasus dugaan penistaan agama ini makin banyak sejak rezim Orde Baru tumbang. Dia menyebutkan sebelum reformasi hanya ada sembilan perkara penistaan agama, namun sehabis reformasi jumlah kasusnya membengkak menjadi 88 kasus. Lebih lanjut Halili mengungkapkan dari 97 kasus penodaan agama tersebut, 76 perkara diselesaikan melalui jalur persidangan dan sisanya di luar persidangan atau non-yustisia.
Sementara, dilihat ada tidaknya tekanan massa lanjut Halili, dari 97 kasus yang dicatat oleh Setara Institute, 35 di antaranya tidak melibatkan tekanan massa, sedangkan 62 lainnya melibatkan tekanan massa. Dalam kasus-kasus penodaan agama tambahnya, Islam menjadi agama yang paling banyak dinodai yaitu 88 kasus. Sedangkan agama Kristen 4 kasus, Katolik 3 kasus dan Hindu 2 kasus. Halili menambahkan pasal penodaan agama ini sesungguhnya ancaman bagi demokrasi karena menutup perbedaan interpretasi atas ajaran agama. Selain itu, pasal ini bisa dipakai buat mendiskriminasi gerakan-gerakan keagamaan baru yang merupakan minoritas.
Baca Juga : Kasus Penistaan Agama di Indonesia, “Subjektif” dan Pakai Aksi Tekanan Massa
Kasus Penistaan Agama yang Menonjol
Berdasarkan data yang dimiliki oleh Amnesty International Indonesia sebagai lembaga pemantau HAM internasional sepanjang tahun 2017-2018 saja ada 15 kasus penistaan agama yang menonjol di Indonesia. Kasus-kasus itu tersebar di berbagai wilayah Indonesia seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, NTT, dan Papua. Untuk Pulau Sumatera sudah ada 4 vonis terkait penistaan agama. Pertama, Soni Sumarno yang dianggap melanggar Pasal 45A Junto Pasal 28 UU No 19 Tahun 2016. Ketuk palu hakim menetapkan hukuman 2 tahun penjara. Kedua, Reza Hazuwen yang divonis dua tahun penjara karena melanggar Pasal 156A tantang penodaan agama. Sebelumnya, dia divonis hukuman 4 tahun, namun ia berhasil memenangkan banding. Melalui akun sosial medianya, Reza menghina Nabi Muhammad dan menghina umat Islam ketika mengucapkan takbir.
Berikutnya adalah Martinus Gulo yang dihukum empat tahun dengan tambahan enam bulan di Medan. Dia dianggap melanggar Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang ITE. Dia dituding sebagai pembuat lafaz Allah di ornamen natal. Reza menjalani hukumannya di Jambi. Dan yang terakhir adalah Meliana. Terkait vonis 18 bulan yang menjeratnya, Amnesty Internasional Indonesia memita Presiden Republik Indonesia Joko “Jokowi” Widodo untuk melakukan campur tangan pada kasus ini. Lalu di Pulau Jawa, Amnesty Internasional Indonesia mencatat ada 9 kasus. Pertama adalah Andri Cahya yang divonis 3 tahun bui karena dianggap melanggar Pasal 110, Pasal 55, dan Pasal 64. Cahya dianggap menistakan agama setelah terlibat dalam Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar).
Kedua, Aking Saputra divonis 18 bulan penjara karena oleh Pengadilan Negeri Karawang karena dianggap melanggar Pasal 156A. Dia dianggap menista agama karena menyebut kebanyakan tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah pemuka agama Islam. Mahful Muis Tumanurung dan Ahmad Musadeq divonis lima tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur karena dianggap melanggar Pasal 110, Pasal 55, dan Pasal 64. Mereka berdua adalah pendiri dan sekaligus mengaku sebagai nabi daripada Gafatar. Berikutnya, mereka yang dianggap melanggar Pasal 156A adalah Bangun A.H. Kurniawan yang divonis 2 tahun 6 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Kawang dan Andrew Handoko Putra yang divonis 1 tahun 6 bulan di Semarang. Selanjutnya, di Surabaya ada Dwi Handoko yang divonis 4 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Surabaya karena dianggap melanggar Pasal 28 ayat 2 UU ITE. Dia dianggap menghina Tuhan melalui media sosialnya.
Kemudian, ada Arnoldi Bahari yang divonis 5 tahun dan denda Rp500 juta oleh Pengadilan Negeri Pandeglang karena dianggap melanggar pasal 45 A ayat 2 Junto Pasal 28 No 19 Tahun 2016. Dia dianggap menyebarkan ujaran kebencian berbau agama melalui media sosial. Selain itu, ada juga Abraham Ben Moses yang divonis 4 tahun penjara dan denda Rp50 juta setelah divonis oleh Pengadilan Negeri Tangerang karena dianggap melanggar Pasal 29 Ayat 2 UU ITE. Pendeta itu diketahui melecehkan agama Islam melalui media sosialnya. Terakhir adalah Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang divonis dua tahun penjara. Ia harus mendekam di Mako Brimob, Depok karena melanggar Pasal 156A. Sementara itu, di Kalimantan, ada satu penistaan agama yang dilakukan oleh Otto Rajasa. Ia divonis dua tahun penjara karena melanggar Pasal 28 Ayat 2 Juncto Pasal 45 UU ITE. Dia harus mendekam di Lapas Balikpapan karena menghina Tuhan melalui akun Facebooknya. Sedangkan di Nusa Tenggara Timur (NTT), Siti Aisyah harus divonis 2 tahun 6 bulan karena melanggar Pasal 156 dan Pasal 156A. Dia dianggap menyebarkan ajaran Islam yang tidak sesuai dengan paham umum di Indonesia dan menghina ulama yang tidak sependapat dengannya.
Baca Juga : Diburu Diduga Menistakan Agama, Polri Yakin Paul Zhang di Jerman
Di Bali, ada satu kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Donald Ignatius Soeyanto Baria. Dia divonis 2 tahun 10 bulan karena melanggar Pasal 28 Ayat 2 Juncto pasal 45 UU ITE. Dia harus menjadi tahanan di Denpasar karena menghina para ulama dan kiyai melalui akun media sosialnya. Di Jayapura-Papua, penistaan agama dilakukan oleh anggota militer bernama A.H Kurniawan. Dia dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Militer berupa pemecatan dan dua tahun penjara karena menghina agama dalam kasus terbakarnya kitab suci di Kompleks Kasrem 172/PWY. Selain data dari Amnesty International Indonesia, kasus penistaan agama lainnya yang juga menonjol berdasarkan pantauan dari emberitaan media adalah pda tahun 2006 terdapat 41 anggota Lembaga Pelayanan Mahasiswa Indonesia (LPMI) dihukum masuk penjara 5 tahun. Mereka dituduh mengadakan konser doa di Hotel Asida, Batu, Malang, yang menghina umat Islam.
Selanjutnya pada 2011, Antonius Richmond Bawengan, juga dijerat 5 tahun penjara. Dia dituduh menyebarkan sejumlah selebaran dan buku yang dianggap melecehkan keyakinan agama tertentu. Publikasi yang dipersoalkan berjudul “Bencana Malapetaka Kecelakaan (Selamatkan Diri Dari Dajjal), “Tiga Sponsor-Tiga Agenda-Tiga Hasil” dan “Putusan Hakim Bebas”. Pada 2012, seorang ibu rumah tangga bernama Rusgiani juga harus dihukum setahun dua bulan karena divonis bersalah telah menista agama Hindu. Ia dianggap menghina tempat sesaji orang Hindu di Bali. Rusgiani terbukti mengatakan: “Tuhan tidak bisa datang ke rumah ini, karena Canang itu jijik dan kotor.” Pada tahun ini pula ada kasus Nanang Kurniawan yang juga didakwa menista agama. Ia dihukum 18 bulan penjara karena dianggap secara sengaja merancang alas kaki dengan gambar ornamen yang diduga merupakan materi kaligrafi. Nyaris tidak ada yang lolos dari jerat hukum ketika seseorang diajukan ke pengadilan karena delik penistaan agama. Apalagi jika kasusnya sudah menjadi perhatian yang begitu besar dari publik.
Proses Bias dan Pasal Karet
Sementara itu, Ismail Hasani, Direktur Riset Setara Institute dan pengajar Hukum Tata negara di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menjelaskan wajah penegakan hukum dalam kasus penistaan agama adalah sebuah proses bias. Dia juga menilai institusi-institusi peradilan sangat lemah dalam kasus penistaan agama.”Kasus-kasusnya sebagian besar sepele dan semuanya dilatarbelakangi ada konteks konflik atau polemik. Karena itu, dia sesungguhnya tidak steril sebagai sebuah peristiwa hukum yang betul-betul bisa diverifikasi sebagai yang melanggar. Sekali lagi bukan cuma soal isu agama, tapi yang paling penting adalah ancaman kebebasan berekspresi, berpendapat,” papar Ismail.
Ismail menekankan delik penodaan agama telah efektif menjadi alat untuk menundukkan bagi pihak-pihak berkonflik, baik dalam konteks ketegangan politik atau konflik personal. Dia mengatakan agama kini telah menjadi senjata dalam politik.Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan tidak hanya pasal penistaan agama yang harus dicabut, tapi undang-undang tentang penodaan agama harus dihapuskan lantaran merupakan penafsiran. “Hampir semua tuduhan kepada terduga penista agama bersumber dari kata-kata yang ditafsirkan sebagai penghinaan, bukan tindakan,” tegasnya. Dalam kasus Meliana, tambah dia, delapan orang perusak wihara dihukum tiga hingga lima bulan. Sedangkan Meliana divonis 18 bulan penjara. Usman berpendapat para pelaku perusakan pun bisa dituduh dengan melakukan ujaran kebencian terhadap etnis. Sehingga ada ketimpangan dalam sistem peradilan dalam perkara ini. Dia menyebutkan dua sebab ketimpangan. Pertama, lemahnya penegakan hukum. “Lemah dari tekanan massa. Berdasarkan kronologis, yang ditekan bukan pengadilan saja, tapi polisi, jaksa dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga ditekan,” ucap Usman.
Menurut Usman, tafsir pernyataan Meliana sebagai penodaan agama itu merupakan respons terhadap tekanan massa, bukan interpretasi atas perbuatan. Kedua, kekakuan dalam berpikir. “Bukan hanya di masyarakat, Mahkamah Konstitusi pun masih mempertahankan undang-undang penodaan agama. Sehingga banyak yang menjadi korban,” terang Usman. Menurut dia bukan hanya warga yang mempunyai cara berpikir yang kaku. Elite politik yang terdidik pun mereproduksi retorika yang membelah persatuan, misalnya dengan menggunakan kata ‘pribumi-antipribumi’. “Retorika yang mengkambinghitamkan kaum minoritas sedang ‘naik’ secara global,” ucap Usman. Aktivis kebebasan berpendapat sekaligus Direktur Remotivi Muhammad Heychael menilai perluasan pasal yang digunakan polisi dan jaksa saat menjerat mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama itu tidak perlu dibahas. “Saya kira inilah masalah hukum kita. Banyak Produk hukum tumpang tindih,” kata Heychael.
Heychael menilai pasal penistaan agama di RUU KUHP berpeluang multitafsir lantaran tidak ada definisi yang jelas mengenai penistaan agama, sehingga berpotensi digunakan oleh siapa saja yang merasa sakit hati karena sebuah pendapat. “Berpotensi membungkam kebebasan berekspresi,” tukasnya lagi. Lagi pula, tidak masuk akal mengatur penistaan agama dalam konteks hukum positif karena hukum positif mempunyai azas pembuktian yang jelas dan terukur. “Yang sering terjadi adalah pasal ini dipakai untuk melegitimasi sakit hati komunitas agama yang merasa ada orang yang mengkritik atau menghina sebuah agama,” kata Heychael.
Jaga Stabilitas Kehidupan Sosial
Berdasarkan catatan, perluasan pasal penistaan agama pada RUU KUHP dimaksudkan untuk menjaga stabilitas kehidupan sosial dan beragama masyarakat di Indonesia. Soal pasal 349 dalam RUU KUHP, pasal itu dibuat agar seseorang tidak sembarangan menuduh orang lain menistakan agama di sosial media. Umumnya kasus persekusi banyak terjadi karena ada yang menyebarkan di medsos bahwa ada yang menistakan agama. Mengenai pasal 349 ayat 1 RUU KUHP penting untuk menghindari semakin maraknya persebaran penistaan agama. Dalam pasal ini dijelaskan bahwa penyebar pertama konten berisi tindak pidana penistaan agama bisa dihukum pidana karena bertanggung jawab memperluas persebaran konten tersebut kepada publik.
Contohnya, kasus penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Ia adalah penanggung jawab atas ucapannya yang diduga terkena pidana penistaan agama. Namun, penyebar video pidato di Pulau Seribu-lah yang bertanggungjawab atas penyebaran konten tersebut. Meskipun begitu, dalam perluasan pasal ini, kurang dijelaskan secara rinci mengenai maksud dari penistaan agama. Sementara, itu bisa membuat ketidakpastian hukum. Karena itu juga akan diperjelas maksud penistaan agama. Apakah penistaan itu kepada Tuhan, nabi, atau kitab suci agama tertentu atau apa? Lalu ada pendapat lain bahwa pasal penodaan agama itu menimbulkan kekacauan. Alasannya karena pasal ini pada dasarnya “karet”—bisa diinterpretasikan secara bebas dan pada akhirnya hanya berujung pada kriminalisasi dan persekusi mereka yang punya keyakinan yang berbeda dari mayoritas. Untuk mengakhiri itu, satu-satunya jalan adalah caranya menghapus pasal penodaan agama dan juga aturan-aturan terkait.
Selama pemerintah Indonesia tidak menghapuskan pasal penodaan agama yang melanggar hak asasi manusia dan memastikan bahwa kepolisian melindungi hak seluruh warga Indonesia maka kasus-kasus penodaan agama dan aksi-aksi intoleran seperti pelecehan dan intimidasi oleh kelompok militan sepertinya akan terus terjadi. Aturan soal penodaan agama pada dasarnya sudah salah karena tujuannya adalah untuk “melindungi perasaan” umat. Itu akan jadi masalah ke proses penegakan hukum, karena kalau melindungi perasaan itu sangat subyektif. Sulit membuktikan suatu kalimat itu memang melanggar hukum atau tidak.
Upaya untuk melakukan uji materi ini bukannya tidak ada, bahkan pernah dilakukan oleh seorang pemuka agama terhormat, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Gus Dur pernah mengajukan uji materi terhadap UU 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pada tahun 2009. Menurutnya UU itu cenderung disalahfungsikan sebagai senjata politik. Namun, permohonan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK) yang saat itu dipimpin Mahfud MD ketika Gus Dur sudah meninggal dunia.(EKS/berbagai sumber)