Korupsi dana desa makin marak di Indonesia. Sebab itu Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta pemerintah mengawasi pengelolaan dan penggunaan dana desa. ICW temukan fakta bahwa maraknya kasus korupsi yang dilakukan melibatkan pejabat dari perangkat desa. Berdasarkan data ICW, sejak 2015 hingga 2020, terdapat 676 terdakwa kasus korupsi dari perangkat desa. Data ini tersebut menunjukan bahwa praktik korupsi marak dilakukan oleh perangkat desa setelah Aparatur Sipil Negara (ASN) dan pihak swasta selaku kotraktor. Kasus korupsi dana desa apa saja yang marak di Indonesia? Apa saja yang telah dilakukan oleh pihak berwenang termasuk kepolisian untuk mencegah terjadinya korupsi dana desa tersebut? Bagaimana pihak kepolisian menanggapinya? Bagaimana penanganannya? Apa solusi pencegahannya?
Jakarta, 20 Desember 2021 – “Selama kurun waktu lima tahun terdapat 676 terdakwa kasus korupsi dari perangkat desa. Ini penting untuk dipikirkan lebih jauh oleh pemerintah, kenapa perangkat desa ini setiap tahun selalu mendominasi terdakwa-terdakwa kasus korupsi,” jelas Kurnia Ramadhan, peneliti ICW dalam konferensi pers virtual tentang Laporan Hasil Pemantauan Persidangan Korupsi 2020 oleh ICW, Senin (22/3/2021) lalu. Menurut Kurnia, jika mengacu pada data tersebut, pemerintah harus melakukan evaluasi kinerja dan pemantauan pada penggunaan dana desa. Sebab, data ICW menunjukan fakta bahwa isu-isu penyelewangan penggunaan dana desa marak terjadi. “Berarti ada isu pengelolaan dana desa di sana yang masih banyak diselewengkan oleh aparatur desa itu sendiri,” katanya. Kurnia juga mengatakan bahwa kerugian negara akibat korupsi yang dilakukan oleh aparatur desa mencapai total Rp 111 miliar. Angka ini menempati posisi kedua kerugian negara pada 2020, setelah praktek korupsi yang dilakukan oleh klaster politik yakni anggota legilatif dan kepala daerah yang sebesar Rp 115 miliar. Lalu untuk BUMN (Badan Usaha Milik Negara) atau BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) sendiri mencapai Rp 38 miliar.
Memasuki catur wulan tahun 2021, tercatat di media massa bertebaran pula kasus korupsi dana desa yang terserak dari ujung Barat pulau Sumatera hingga ujung Timur pulau Papua. Kasus korupsi dana desa di propinsi NAD (Nanggroe Aceh Darussalam) yang diungkap adalah pengelolaan anggaran dana desa tahun 2020 berjumlah 709.720.000 (Tujuh Ratus Sembilan Juta Tujuh Ratus Dua Puluh Ribu Rupiah) di desa Blang Paku Kecamatan Paya Bakong Aceh Utara diduga Sudah Sarat penyimpangan. Akibat hal tersebut sejumlah sarana Pembangunan Tahun 2020 untuk Gampong Blang Paku paya bakong aceh utara jadi terkendala. Hal itu diutarakan oleh warga desa setempat yang tidak mau disebutkan namanya pada hari Rabu (6/1/2021) lalu. Menurutnya, pengelolaan anggaran dana desa tahun 2020 di desa Blang Paku paya bakong di temukan sejumlah kejanggalan dalam data tertulis jumlah Anggaran Belanja Gampong (APBG) tahun 2020 lalu tidak sesuai seperti yang diharapkan. Selain dugaan penyelewengan anggaran desa bermasalah, juga ditemukan masalah pembangunan rumah duafa belum siap dikerjakan dari anggaran tahun 2020 yang belum seratus persen rampung.
Sementara itu Tim penyidik Tipikor Satuan Reskrim Polres Pelalawan kini mulai menyidik kasus dugaan korupsi dana desa Merbau, Kecamatan Bunut, Kabupaten Pelalawan, Riau. Tindakan korupsi dana desa tersebut diduga merugikan negara lebih setengah miliar. Demikian ditegaskan Kapolres Pelalawan, AKBP Indra Wijatmiko SIK melalui Kasat Reskrim AKP Nardy Masry Marbun SH. Nardy menyebut, dugaan korupsi tersebut bersumber dari APBDes tahun 2018 sebesar Rp650 juta. Yang digunakan untuk kegiatan pembuatan perkebunan di Desa Merbau. Namun, kegiatan kebun desa untuk membantu perekenomian masyarakat tersebut tidak berjalan sesuai dengan rencana. Hanya baru dilakukan land clearing atau stacking. Sementara anggaran sebesar Rp165 juta dari APBDes telah dicairkan seluruhnya. Atas informasi itu pihaknya langsung melakukan pengusutan. Hingga saat ini polisi terus bekerja, untuk mengungkap siapa-siapa yang bertanggung jawab atas dugaan penyelewengan dana desa. Hingga menimbulkan kerugian keuangan negara lebih dari setengah miliar tersebut.
Sedangkan kasus korupsi dana desa yang melibatkan Eri Susanto, kepala desa asal Bayongbong, Kabupaten Garut. Ia divonis bersalah dalam kasus korupsi dana desa yang menjeratnya. Eri dihukum 6 tahun bui atas kejahatannya itu. Hal tersebut diungkap Kajari Garut Sugeng Hariadi. Menurut Sugeng, majelis hakim di PN Tipikor Bandung memvonis Eri bersalah dalam kasus tersebut. “Majelis yang mulia memutus terdakwa Eri ini bersalah in absentia. Divonis hukuman 6 tahun penjara,” kata Sugeng kepada wartawan, Sabtu (17/4/2021). Terdakwa Eri yang sebelumnya penangguhan penahanannya dikabulkan oleh majelis hakim PN Bandung diketahui mangkir dalam beberapa kali panggilan sidang yang dialamatkan kepadanya. Sehingga majelis hakim memutuskan Eri bersalah in absentia. Sugeng mengatakan, pasca vonis yang dijatuhkan majelis hakim, hingga saat ini keberadaan Eri misterius. Selain Eri, keberadaan sang istri yang sempat bertindak sebagai penjamin dalam proses penangguhan penahanan Eri yang dilakukan beberapa waktu lalu juga tidak diketahui.
Kasus selanjutnya dari pulau Kalimantan dimana Cabang Kejaksaan Negeri (Cabjari) Sanggau di Entikong, Kalimantan Barat menetapkan tiga orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi Dana Desa (DD). Penetapan atas ketiga tersangka, didasarkan pada hasil penyidikan terhadap 28 orang saksi dan sejumlah surat. Dugaan tindak pidana korupsi ini terjadi di Desa Semongan, Kecamatan Noyan, Kabupaten Sanggau. Materi korupsi berupa anggaran DD untuk tahun anggaran 2019. Ketiga tersangka menjabat Kepala Desa berinisial M, Sekretaris Desa berinisial G, dan Bendahara Desa berinisial VS.
“Dari hasil penyidikan terhadap 28 orang saksi dan surat-surat, telah diperoleh fakta-fakta bahwa tersangka M, tersangka G, dan tersangka VS diduga telah melakukan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan dan penggunaan anggaran DD Semongan tahun anggaran 2019,” kata Kepala Cabjari Sanggau di Entikong, Rudy Astanto, Senin (3/5/2021). Setelah ditetapkan sebagai tersangka, M, G dan VS langsung ditahan di Rutan Klas IIB Sanggau selama 20 hari ke depan, terhitung sejak 3 Mei hingga 22 Mei 2021.
Rudi menjelaskan, penahanan terhadap tiga tersangka dilakukan dengan dasar telah didapatkan setidak-tidaknya dua alat bukti permulaan yang cukup, sebagaimana diatur dalam KUHAP pasal 184 ayat (1). “Dan dengan pertimbangan untuk menjamin kelancaran proses penegakan hukum pidana sebagaimana diatur dalam pasal 21 ayat (1) KUHAP,” ujar Rudy. Sesuai dengan Peraturan Desa Semongan Nomor 3 tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) tahun 2019, pasal I, pendapatan Desa Semongan keseluruhannya berjumlah Rp 2.327.590.027,34.
Rudy memaparkan, sebagian dari jumlah APBDes tersebut, dialokasikan untuk membiayai 23 kegiatan dalam bidang pembangunan fisik dan pemberdayaan masyarakat. Dalam pembiayaan kegiatan tersebut, para tersangka secara bersama-sama menggunakan dan mengelola APBDes dengan cara yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya kasus dugaan korupsi di wilayah Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, kembali menyeret kepala desa. Kali ini dugaan korupsi menyeret nama Kepala Desa Mari-mari, Kecamatan Sabbang Selatan, Mariana Manna (MM). Kepala Kejaksaan Negeri Luwu Utara, Haedar mengatakan, pihaknya berhasil menyelamatkan uang negara Rp 320.962.282 dari kasus ini. Uang itu diperoleh dari pengembalian yang dilakukan MM. “Uang tunai senilai Rp 320.962.282 diamankan dari kasus dugaan korupsi pengelolaan dana desa di Desa Mari-mari tahun anggaran 2019-2020,” kata Haedar.
Haedar mengatakan, kasus ini bermula dari laporan masyarakat. Kemudian Kejari Luwu Utara mengeluarkan surat perintah penyelidikan tertanggal 24 Maret 2021. Guna melakukan penyelidikan terhadap dugaan penyalahgunaan pengelolaan DD di Desa Mari-mari untuk tahun anggaran 2019-2020. Usai mengembalikan kerugian negara, penyelidikan kasus MM, lanjut Haedar dihentikan. Pertimbangannya untuk menjaga stabilitas pemerintahan di Desa Mari-mari dan demi kelancaran pembangunan program pemerintah desa pada khususnya
Berikutnya kasus korupsi dana desa di Nusa Tenggara Timur (NTT) dimana Inspekorat Kabupaten Malaka, NTT menemukan 144 kasus dugaan penyalahgunaan dana desa di Kabupaten Malaka dalam rentang 2014-2020. Ratusan kasus dugaan penyalahgunaan dana desa itu ditemukan di 80 desa yang ada di Kabupaten Malaka. Bupati Malaka Simon Nahak memberi waktu tiga hari kepada 80 kepala desa di wilayah tersebut untuk mengembalikan uang hasil dugaan penyelewengan dana desa itu.
Simon bersama Wakil Bupati Malaka Louise Lucky Taolin mengawasi langsung tindak lanjut hasil pemeriksaan Inspektorat Malaka tersebut. “Kita beri rentang waktu sampai hari Senin untuk selesaikan masalah keuangan dan diadministrasikan,” kata Simon saat menggelar pertemuan bersama Inspektorat dan para kepala daesa di Aula Kantor Bupati Malaka, Kamis (6/5/2021). Simon yang baru dilantik dua pekan lalu, mengungkapkan keseriusannya terkait komitmen 100 hari kerja untuk melakukan audit terhadap pengelolaan dana desa. Ia pun meminta Inspektorat menindaklanjuti para kepala desa yang selama ini sudah diperiksa, diaudit, dan terindikasi menyelewengkan uang negara sejak 2014-2020 itu.
Sebelumnya, masyarakat bersama 125 kepala kampung di Kabupaten Puncak Jaya, Papua, menggelar unjuk rasa di Kantor Kejaksaan Tinggi Papua. Mereka menuntut lembaga tersebut serius menangani dugaan penyelewenangan dana desa. Koordinator kepala kampung, Rafael O Ambrauw mengatakan, dugaan dana desa yang diselewengkan sebesar Rp160 milar lebih. Namun hingga kini kasus tersebut belum juga tuntas.
“Ini sangat disayangkan, karena bukan uang yang kecil, uang untuk membangun rakyat di Puncak Jaya Papua. Karena itu kami melapor ke Kejati Papua,” kata Rafael di Kantor Kajati Papua, Kota Jayapura, Rabu (17/3/2021). Dia mengatakan, masyarakat dan para kepala kampung menyayangkan sikap Kejati Papua yang tampak tak bijak. Karena itu mereka meminta agar kasus ini segera diusut tuntas. “Sangat kecewa karena Kejaksaan Tinggi Papua tidak kelihatan menyikapinya dengan bijak. Padahal hukum harus ditegakkan demi rakyat,” ujarnya.
Fokus Pemanfaatan Dana Desa
Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) menggelontorkan dana desa tahun anggaran 2021 sebesar Rp 72 triliun. Besaran anggaran tersebut naik dibandingkan tahun sebelumnya. Menteri Desa PDTT RI Abdul Halim Iskandar di Cianjur, Selasa (23/3/2021). Menurutnya, setiap tahun pemerintah menaikkan anggaran dana desa yang diperuntukan bagi percepatan pembangunan di wilayah desa di seluruh Indonesia.
Apa fokus tujuan pemanfaatan dana desa? Terpenting, kata Mendes PDTT, pemanfaatan dana desa harus sesuai dengan harapan masyarakat, seperti untuk jaring pengaman sosial, bantuan langsung tunai (BLT), padat karya tunai desa, untuk infrastruktur dan program-program strategis lainnya. Pada anggaran tahun 2021, sebagian dari dana desa atau sebesar 8 persen dialokasikan untuk percepatan penanganan COVID-19. Sementara alokasi anggaran untuk BLT dana desa nilainya sekitar Rp 20 triliun.
Sebelumnya, Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Budi Arie Setiadi pda Rabu (17/3/2021) lalu memaparkan kebijakan pembangunan desa di tengah pandemi COVID-19. Untuk pembangunan desa yang lebih terarah, Kemendes PDTT memprogramkan SDGs (Suistainable Development Goals/ Tujuan-tujuan Pembangunan Berkelanjutan) Desa yang berisi 18 poin yang merupakan pengejawantahan SDGs Nasional.
“Target- target kita ada desa tanpa kemiskinan, kelaparan, keterlibatan perempuan, air bersih dan sanitasi, pertumbuhan ekonomi desa yang merata,” kata Wamen Budi Arie. Tiga fokus anggaran dana desa tahun 2021, pertama pemulihan ekonomi nasional sesuai kewenangan desa, yang terdiri dari pembentukan, pengembangan dan revitalisasi BUMDes/BUMDesma (Badan Usaha Milik Desa/Badan Usaha Milik Desa Bersama), penyediaan listrik desa, dan ketiga pengembangan usaha ekonomi produktif yang utamanya dikelola BUMDes/ BUMDesma.
Kedua, program prioritas nasional sesuai kewenangan Desa yang meliputi pendataan Desa, pemetaan potensi dan sumber daya, dan pengembangan teknologi informasi dan komunikasi, pengembangan Desa wisata, penguatan ketahanan pangan dan pencegahan stunting di desa, dan desa inklusif. Kemudian terakhir ialah prioritas dana desa tahun 2021, adaptasi kebiasaan baru yaitu Desa Aman COVID-19.
Wamen Budi Arie mengatakan, dengan disahkannya UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 maka BUMDes menjadi badan hukum. BUMDes menjadi investasi penting bagi desa untuk dapat terus menerus meningkatkan Pendapatan Asli Desa (PADes). Tercatat, sejak tahun 2015 hingga tahun 2020, BUMDes telah berkontribusi meningkatkan PADes hingga Rp 1,1 Triliun. Akumulasi jumlah BUMDes sampai tahun 2020, sudah ada 51.134 desa yang sudah mendirikan BUMDes.
Sedangkan antara tahun 2015-202, dana desa yang dialokasikan untuk modal BUMDes mencapai Rp 4,2 Triliun, dan PADes dari BUMDes tahun 2015-2020 mencapai Rp 1,1 Triliun. Menurutnya, pengembangan BUMDes menjadi salah satu upaya penting dalam rangka rebound ekonomi desa tahun ini. Pemanfaatan Dana Desa untuk berkeadilan dalam pandemi COVID-19 ini diarahkan ke Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa untuk 8.045.861 keluarga atau 39.263.802 jiwa. “Program Padat Karya Tunai Desa dirasakan manfaatnya sebanyak 3.298.041 jiwa,” kata Wamendes. Total pemanfaat langsung dana desa tahun 2020 per 30 Desember 2020 sebanyak 42.753.453 Jiwa atau 36,23% warga desa lapisan bawah.
Baca Juga : Berkah dan Waspada Dana Desa
Dukungan Polisi Bantu Awasi Dana Desa
Menteri Desa PDTT Abdul Halim Iskandar didampingi Sekjend Kemendes PDTT bertemu langsung dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo membahas Tentang Naskah perjanjian Hukum bidang Desa daerah Tertinggal dan Transmigrasi di Mabes Polri, Selasa (22/5/2021).
Dalam pertemuan tersebut, Abdul Halim Iskandar atau yang akrab disapa Gus Menteri didampingi oleh Sekretaris Jenderal Kemendes PDTT Taufik Madjid, Inspektur Jenderal Kemendes PDTT Ekatmawati, dan Plt. Dirjen Pembangunan Desa dan Perdesaan Rosyidah Rachmawati. Rosyidah Rahmawati mengatakan, kunjungan Gus Menteri ke Mabes Polri adalah untuk menyampaikan apresiasi ke Kapolri beserta jajarannya yang selama ini telah membantu, mendampingi, dan mendukung Kemendes PDTT dalam mengawal dana desa. “Gus Menteri meminta Kapolri beserta jajarannya untuk tetap memberikan dukungan dan pengawalan terhadap Kemendes PDTT, utamanya dana desa,” jelasnya.
Selain itu, lanjut Rosyidah, dalam pertemuan tersebut, Gus Menteri menjelaskan prioritas penggunaan dana desa 2021 yang diarahkan untuk pencapaian SDGS Desa. “Gus Menteri juga menyampaikan terkait dengan badan hukum BUMDes yang sekarang secara aspek legal, badan hukumnya sudah diakui sebagai badan hukum dengan adanya Undang-undang Cipta Kerja,” ungkapnya. Guna mendukung program-program Kemendes PDTT sebagai bentuk pelayanan Polri kepada masyarakat dan desa, Polri juga akan meluncurkan program Restorasi Justice. Dalam program ini, Polri akan melakukan pendampingan ke masyarakat. Program Restorasi Justice lebih mengutamakan pencegahan daripada penanganan kasus sehingga bagaimana suatu kasus tidak terjadi di jalur hukum.
Program Restorative Justice lebih mengedepankan keadilan kedua belah pihak yang bermasalah daripada dibawa ke jalur hukum. Misalnya, jika ada pencurian ayam di desa maka akan diupayakan selesai secara adat, tanpa harus berlanjut ke jalur hukum. “Gus Menteri menyambut baik program Restorasi Justice Polri dan akan menyosialisasikannya di desa-desa, karena program ini sesuai dengan SDGs Desa poin ke-18 dimana kelembagaan desa dinamis dan budaya desa adaptif,” jelas Rosyidah.
Pelibatan Masyarakat Desa
Sejak 2015, puluhan triliun dana APBN digelontorkan untuk desa. Selama enam tahun terakhir, alokasinya naik terus. Anggaran pertama untuk dana desa sebesar Rp20,77 triliun. Jumlahnya meningkat menjadi Rp46,98 triliun pada 2016. Peningkatan juga terjadi pada anggaran 2017-2021. Besarnya anggaran desa ini diharapkan berdampak positif bagi desa, terutama dalam meningkatkan kesejahteraan dan target pembangunan. Namun, seiring meningkatnya anggaran, potensi terjadinya korupsi juga semakin besar. Persoalan Dana Desa Untuk mengenali potensi korupsi dana desa, kita bisa berkaca pada kasus-kasus penyalahgunaan dana bantuan sosial (bansos) atau dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang mudah terjadi di berbagai daerah. Selain itu, menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam laporan hasil kajian “Pengelolaan Keuangan Desa: Alokasi Dana Desa (ADD) dan Dana Desa terdapat”, terdapat 14 temuan persoalan pengelolaan dana desa.
Ada empat aspek yang disorot, yakni regulasi dan kelembagaan, tata laksana, pengawasan, dan sumber daya manusia. Pada aspek tata laksana, ada persoalan kerangka waktu pengelolaan anggaran yang sulit dipatuhi oleh masing-masing desa. Selain itu, satuan harga baku barang/jasa yang dijadikan acuan dalam menyusun anggaran belum tersedia. Belum lagi permasalahan seputar transparansi rencana dan penggunaan dana, juga soal laporan yang belum mengikuti standar. Dalam aspek pengawasan, KPK menyoroti masih rendahnya efektivitas kerja inspektorat di daerah. Mekanisme pengaduan masyarakat pun belum terkelola dengan baik, cenderung mengarah pada pengaduan ke level pemerintah pusat.
Tidak hanya KPK yang menyorot soal pengelolaan dana desa. Kemenkeu menggarisbawahi 82,2 persen penggunaan dana desa diperuntukkan dalam konteks pembangunan infrastruktur. Contohnya pembangunan jalan aspal, irigasi, talud, dan sebagainya. Hanya 7,7 persen penggunaan dana desa yang mencakup pemberdayaan, misalnya pelatihan untuk kelompok PKK, karang taruna, pelatihan perangkat desa, dan lain-lain. Artinya, penggunaan dana desa masih bekerja dalam konteks “uang program” atau “proyek”.
Cara pandang yang umum terhadap “uang program” atau “proyek” sebaiknya menyalakan alarm potensi penyalahgunaan dana desa. Kasus-kasus yang terjadi dengan (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) PNPM dapat dijadikan gambaran. Korupsi Dana Desa dan Usulan Melibatkan Kepolisian Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat pada 2017 ada sebanyak 576 kasus korupsi dengan jumlah tersangka 1.298 orang terjadi di Indonesia. Jika dilihat lebih rinci, penyalahgunaan anggaran menduduki posisi teratas. Angkanya mencapai 154 kasus dan mengakibatkan kerugian negara hingga Rp1,2 triliun. Berdasarkan sektornya, anggaran desa merupakan sektor yang paling banyak korupsi, yakni sebanyak 98 kasus dan kerugian negara mencapai Rp39,3 miliar. Artinya, dana desa merupakan lahan basah dan sangat potensial dikorup.
Sebagai langkah awal penanganan permasalahan dana desa, maka tiga pejabat menteri dan Kapolri pada waktu itu yang terdiri dari Menteri Desa PDTT yaitu Eko Sandjojo bersama Mendagri Tjahjo Kumolo dan Kapolri Jendral Tito Karnavian telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) atau nota kesepahaman tentang pencegahan, pengawasan, dan penanganan masalah dana desa pada 20 Oktober 2017. MoU itu mengatur bahwa pelibatan aparat kepolisian dirasakan diperlukan. Unsur Polri yang dilibatkan adalah Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas), Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) hingga Kepala Kepolisian Resor (Kapolres).
Kesepakatan itu mengasumsikan bahwa aparat terkecil Polri, Bhabinkamtibmas, akan menjadi ujung tombak pengawasan di setiap desa. Permasalahannya, Polri sendiri belum mampu mencukupi rasio keterwakilan aparatnya di tiap desa atau setidaknya 1 Bhabinkamtibmas untuk 1 desa. Dalam paparan kebijakan Kapolri, disebutkan bahwa ada 54.285 personel Bhabinkamtibmas. Dari jumlah yang ada tersebut, masih ada 14.956 personel yang merangkap tugas. Untuk target program kamtibnas Polri yang menjangkau 81.711 desa di seluruh Indonesia, berarti Polri masih masih kekurangan 27.426 personel Bhabinkamtibnas.
Sementara itu, khusus untuk program dana desa 2018 yang menjangkau 74.958 desa, Polri memiliki kekurangan 20.673 personel Bhabinkamtibnas. Pembandingan ini belum memperhitungkan personel yang selama ini merangkap tugas, baik yang bekerja untuk lebih dari satu wilayah desa, ataupun tugas lainnya. Selain kekurangan petugas, infrastruktur penunjang kinerja kepolisian juga masih jauh dari cukup. Sampai hari ini, masih banyak daerah yang tidak memiliki pos polisi. Data statistik kriminal BPS menunjukkan pada 2014, hanya 10,6 persen desa atau kelurahan di Indonesia yang di wilayahnya terdapat pos polisi, termasuk polsek, polres, dan polda.
Provinsi dengan pos polisi paling banyak adalah Jawa Timur dan Jawa Barat, masing-masing 949 dan 813 pos polisi. Sementara itu, Aceh dan Gorontalo hanya memiliki masing-masing 59 pos polisi. Memang, jika dilihat secara keseluruhan, sebanyak 71,3 persen desa/kelurahan yang tidak memiliki pos polisi mendaku bahwa pos polisi terdekat mudah diakses. Namun, patut juga mempertanyakan: apakah dengan jumlah personel yang minim itu aparat kepolisian bisa menanggung tugas terkait dana desa, di samping mengerjakan kerja-kerja reguler mereka? Sebab merujuk pada Peraturan Kapolri Nomor 3 Tahun 2015 pasal 27, aparat Bhabinkamtibmas memiliki tugas pokok untuk melakukan pembinaan masyarakat serta menjaga situasi desa/kelurahan agar tetap kondusif. Menurut pasal 26, ia juga berperan sebagai perantara untuk menjaga hubungan baik antar-masyarakat serta menjadi kepanjangan tangan kepolisian dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat.
Di sisi lain, pelibatan Bhabinkamtibnas dalam pengelolaan dana desa cukup beralasan. Pemerintah pusat memerlukan deteksi dan pelaporan dini cepat dari tenaga aparat yang bekerja menggunakan garis komando terpusat atau top-down. Menurut penelitian Benjamin A. Olken yang berjudul “Monitoring Corruption: Evidence from a Field Experiment in Indonesia” (2005); traditional top-down monitoring berperan dalam mengurangi potensi korupsi, bahkan dalam situasi yang sangat koruptif sekalipun.
Olken memang tidak sedang membicarakan program dana desa, tapi hasil studinya terhadap 600 proyek pembangunan jalan desa di Indonesia bisa dijadikan rujukan dalam melihat persoalan pembangunan desa. Namun, selain pengawasan secara top-down, aspek partisipasi masyarakat juga harus diperhatikan. Apalagi jika melihat kurangnya personel Bhabinkamtibnas dan infrastruktur pos polisi seperti diuraikan di atas. Masyarakat desa bisa dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, hingga evaluasi pembangunan. Tanpa pelibatan masyarakat, dana desa akan dilihat sekadar sebagai bagi-bagi uang proyek. Alih-alih memberdayakan dan membikin makmur, bisa-bisa dana desa malah merusak/mengkorup desa.
Jadi solusi pencegahan korupsi dana desa telah ada sejak tahun 2017 yang melibatkan pihak-pihak terkait. Namun kenyataan di lapangan adalah masih kurangnya tenaga aparat yang terlibat terutama dari kepolisian sepeti yang telah dipaparkan sebelumnya. Sedangkan yang kurang adalah pelibatan masyarakat desa untuk turut aktif mengawasi penggunaan dana desa tersebut dan melaporkannya jika ada penyelewengan alias tindakan korupsi. Melihat maraknya aksi pelaporan dari masyarakat yang ada kini, tampaknya pelibatan masyarakat itu sudah terjadi. (EKS/berbagai sumber)