Setelah sang Pelaku atau provokator penyeru jihad perang melawan Densus 88 diprofiling Direktorat siber, akhirnya seorang pria berinisial AW telah ditangkap Polisi. Menurut Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan, AWA ditangkap oleh jajaran Satreskrim Polresta Bandung di rumahnya pada hari Jumat (19/11) sekitar pukul 15.00 WIB dan ditetapkan sebagai si provokator terkait jihad melawan Densus 88. Berdasarkan penyidikan, AW mengaku telah terlebih dahulu mengkonsumsi obat jenis Riklona sebanyak 4 butir sebelum pembuatan konten yang bermuatan provokasi. Ramadhan menjelaskan bahwa akibat dari pengkonsumsian tersebut, AW kehilangan konsentrasi dan gagal mengendalikan diri. Akibatnya ia akhirnya membuat konten yang menggegerkan itu. AW telah mengakui kesalahannya dan berjanji tidak akan mengulagi perbuatannya. “Polri memberikan kesempatan yang bersangkutan untuk kita bina, sehingga pada malam harinya pada 18.30 saudara AW dipulangkan ke rumahnya dan tentu tidak dilakukan proses hukum, namun dilakukan secara pembinaan,” demikian penuturan Ramadhan. Upaya Polri menempatkan diri sebagai aparat pembina masyarakat demi perlindungan dan pengayoman telah banyak diapresiasi oleh masyakat. Dikatakan ini merupakan bagian dari edukasi yang penting.
Jakarta, 23 November 2021. Aksi Densus 88 Anti Terorisme menangkap tiga terduga teroris yang terkait aktivitas lembaga pendanaan milik jaringan kelompok jaringan terorirs Jemaah Islamiyah (JI) sepekan terakhir ini, ternyata tidak saja menimbulkan reaksi besar dari masyarakat. Penangkapan terhadap Farid Okbah, Ahmad Zain An Najah, dan Anung Al Hamat tersebut tampaknya kemudian berbuntut dengan kemunculan berbagai spekulasi, tuduhan-tuduhan termasuk kemarahan masyarakat terhadap pihak yang ditangkap maupun yang telah menangkapnya.
Pendukung upaya Polri menangkap para pengurus lembaga Amil Zakat Baitu Mal Abdurrahman Bin Auf milik kelompok JI itu amatlah positif. Asumsi mereka adalah bahwa siapapun yang melanggar hukum yang terkait dengan terorisme itu memang harus ditangkap. Sesungguhnya upaya Polri mencerminkan serangkaian upaya serius untuk menyikat habis terorisme dari Indonesia. Dengan kata lain upaya perang terhadap radikalisme harus selalu didukung oleh masyarakat demi menciptakan situasi Indonesia yang lebih kondusif, bersatu dan terbebas dari keterpecah-belahan. Namun tidak saja reaksi positif yang hadir, tapi juga gerakan perlawanannya. Aksi penangkapan-penangkapan itu telah dituduh sebagai suatu tindakan yang amat tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Penangkapan tersebut juga terbukti dilakukan tanpa adanya bukti-bukti yang kuat. Demikian antara lain komentar-komentar yang muncul. Selanjutnya, ada pula yang menyatakan bahwa sebenarnya aksis teror yang dituduhkan itu tidak ada. Apakah rencana aksi mereka ada untuk alasan penangkapannya? Karena hal-hal itu, satuan Anti Teror Densus 88 kemudian dituduh justru yang meneror masyarakat dan menunjukkan tindakan yang tidak mencerminkan fungsi utama Polri sebagai pelindung dan pengayom masyarakat. Observasi komentar-komentar yang muncul di Twitter misalnya, menunjukkan mengenai kepercayaan mereka terhadap Densus. Antara lain disebutkan bahwa mereka tidak berhak ditangkap bila bukti-buktinya tidak jelas. Polri harus mendalami dulu agar tidak salah dalam membuat analisa akhir agar tidak teradi salah tuduh dan salah tangkap terhadap muslim yang tidak bersalah.
Gerakan Jihad Anti Densus 88
Sebagaimana diberitakan di media, Ahmad Zain An-Najah merupakan anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang telah dinonaktifkan setelah penangkapan. Sedangkan Farid Ahmad Okbah tercatat sebagai anggota Komisi Fatwa di MUI Bekasi sudah dinonaktifkan.
Densus Polri menegaskan bahwa aksi mereka sudah terukur dan juga disertai oleh bukti-bukti yang kuat. Densus 88 bukanlah pemicu Islamphobia apalagi anti Islam. Bahwa walaupun ada anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang ditangkap, namun yang bersangkutan haruslah dilihat sebagai oknum yang tidak mencerminkan lembaga itu sendiri. Aksi Densus karenannya sama sekali tidak ada kaitannya dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) ataupun Islam sebagai agama itu sendiri. Demikian penjelasan dari Densus 99.
Terorisme adalah musuh kemanusiaan. Tugas Densus menangkap semua golongan yang terlibat dengan aksi terorisme. Apalagi fakta-fakta terbaru tentang terorisme di Indonesia justru menunjukkan temuan baru yang sebelumnya tidak diketahui. Terlacak bahwa ada upaya-upaya mereka yang sedang memperkuat terbentuknya jaringan sistem organisasi pada era baru, yang dilakukan lewat penggunaan jalur formal yang dari luar terkesan legal.
Anggota Komisi III DPR RI) Muhammad Nasir Djamil menyatakan bahwa Densus) 88 Antiteror agar berhati-hati dalam menangkap tokoh agama ‘ulama’ di Indonesia karena pengikut mereka tidak sedikit. Selain faktor pengikut yang banyak, Nasir Djamil juga mengaku khwatir dengan persepsi liar yang selalu menyertai penangkapan Densus 88. Salah ssatunya adalah soal anggapan Densus 88 hanya menyasar umat islam dan seolah memberi ‘label’ sebagi teroris. Namun mantan kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai mengganggap bahwa menyusupnya Jamaah Islamiyah (JI) ke dalam Majelis Ulama Indonesia merupakan tanda bahwa organisasi tersebut tak sama sekali mengubah strategi untuk mencapai tujuannya. Justru sebaliknya, mereka mengembangkan strateginya.
Sebelumnya JI menitikberatkan jihad lewat bidang kemiliteran untuk merebut kekuasaan. Sedangkan, sejak 2013 hingga sekarang, mereka melakukan reformasi dengan melakukan jihad lewat bidang politik. “Mereka membentuk partai politik, lihat aja dia (Farid Ahmad Okbah) menjadi ketua PDRI (Partai Dakwah Rakyat Indonesia) dan ini strategi mereka justru menghidupkan partai-partai untuk mengonsolidasikan,” jelasnya pada 21/11 lalu. Strategi JI selanjutnya adalah menyusup ke lembaga negara yang strategis. “Jadi, tidak usah diartikan Densus Polri menyasar MUI. Nah, ini perlu kita waspadai karena ini sedang gencar seakan-akan ada upaya membenturkan pemerintah dan ulama,” ujarnya.
Munculnya Gerakan Jihad Anti Densus 88
Di tengah-tengah suara sumbang terhadap aksi Densus 88 tersebut, kemudian muncul menyeruak apa yang disebut sebagai Gerakan Jihad Anti Densus 88. Lewat tagar #Densus88HarusDibubarkan yang viral di kalangan wargaNet, mereka mengharapkan agar Densus 88 dibubarkan. Tentu saja hal ini telah membawa Detasemen Khusus (Densus 88) Antiteror Polri perlu menetapkan status waspada.
Menurut Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo terdapat konten pesan yang tersebar di aplikasi pesan WhatsApp yang berisikan seruan untuk melakukan aksi jihad. Selain serusn tersebut, juga ada ajakan untuk melawan Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri. Pesan tersebut dengan jelas menawarkan ajakan terhadap umat Islam agar membakar polres-polres yang ada di seluruh Indonesia dan penyebarnya sempat menuliskan bahwa Polri merupakan mafia hukum dan sarangnya penjahat berseragam.
“Sebarkan kepada seluruh umat Islam sunni aswaja, ulama-ulama & pondok-pondok pesantren seluruh Indonesia agar segera menabuh genderang perang serukan fatwa jihad fisabilillah. Sudah saatnya umat Islam bertempur melawan kebiadaban Densus 88. Serbu markasnya di Megamendung Puncak Bogor, bakar seluruh polres-polres & nyalakan api, institusi Polri sudah pada puncaknya menjadi institusi organisasi mafia hukum sarangnya para penjahat berseragam,” Di akhir pesan yang kemudian dijadikan bukti itu tertulis:
‘Panglima Pembebasan Rakyat Indonesia, Panglima Laskar Jihad Siliwangi, Panglima Laskar Jihad Ambon 1999-2002’.
Respon Masyarakat
Sesudah pesan itu beredar di WhatsApp (WA), screenshot yang berisi hasutan agar orang mau memerangi polisi pun beredar luas. Tidak mengherankan hal itu telah menuai kecaman banyak orang di masyarakat. Seorang netizen terdengar amat geram dan menyatakan:
“Tolong bapak aparat berwajib segera ditangkap si AW. Kalau tidak, kami sebagai masyarakat akan geruduk rumah dan tempat kerjaannya.” Banyak pihak yang ingin agar polisi segera menangani mengenai seruan jihad melawan Densus itu, karena kawatir akan potensial dalam memicu munculnya konflik-konflik horisontal yang tidak diinginkan sama sekali.
Sebagian muslim antara lain telah menyatakan bahwa mereka tidak sudi makna kata jihad digunakan sembarangan seperti dalam seriuan tersebut. Apalagi itu digunakan sebagai bentuk provokasi kepada masyarakat agar terpengaruh dan kemudian mengikuti ajakan yang diserukan tersebut.
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi) Edi Hasibuan mengajak semua pihak agar tidak mudah terprovokasi dengan seruan jihad dan ajakan melawan Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri di media sosial yang menyesatkan. Selanjutnya ia juga meminta agar penangkapan tiga terduga teroris oleh Densus 88 tidak dipolitisasi. “Rakyat sepenuhnya membutuhkan Polri, termasuk Densus 88 Antiteror. Masyarakat aman dari gerakan teror seperti sekarang ini karena ada Densus 88 Antiteror,” tegasnya. (21/11).
Selanjutnya Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD meminta polisi menangkap pria berinisial AW, yang menyebarkan seruan jihad terhadap Densus 88 Antiteror serta membakar polres-polres. Menurut Mahfud, sebagai negara demokrasi Indonesia tidak melarang siapapu nmelancarkan kritikan aau aspirasinya. Namun seruan dari seorang berinisial AW itu menurut hematnya telah melanggar hukum.
Gerak Cepat Polri
Sesudah memonitor dengan seksama munculnya unggahan tersebut serta komentar-komentar yang ditujukan kepadanya, pihak Polri langsung mengantisipasinya dengan unit-unit siber di tingkat Mabes Polri, Polda dan Polres. Demikian penjelasan Kepala Bagian Bantuan Operasi Densus 88 Antiteror Polri Kombes Aswin Siregar.
“Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri sudah melakukan patroli siber guna mendeteksi konten-konten tersebut dan diberikan peringatan” kata Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Dedi Prasetyo. Setelah mendalami Seruan Jihad lawan Densus 88 Anti Teror, pihak polisi pun tidak segan-segan akhirnya melakukan penangkapan. Keberhasilan tersebut tidak lain karena giatnya aksi polisi Siber di lingkungan Polri mengamati dan menganalisa jejak digital dari pelaku maupun simpatisan dari gerakan tersebut. “Densus 88 Antiteror tidak akan terpengaruh dengan unggahan provokasi dan akan tetap fokus melakukan operasi pencegahan dan penindakan terorisme di Indonesia. Kami waspada,” Tegas Aswin Siregar pada 19 November 2021 lalu.
Pelakunya ditangkap
Setelah sang Pelaku atau provokator penyeru jihad perang melawan Densus 88 diprofiling Direktorat siber, akhirnya seorang pria berinisial AW telah ditangkap Polisi. Menurut Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan, AWA ditangkap oleh jajaran Satreskrim Polresta Bandung di rumahnya pada hari Jumat (19/11) sekitar pukul 15.00 WIB dan ditetapkan sebagai si provokator terkait jihad melawan Densus 88.
Berdasarkan penyidikan, AW mengaku telah terlebih dahulu mengkonsumsi obat jenis Riklona sebanyak 4 butir sebelum pembuatan konten yang bermuatan provokasi. Ramadhan menjelaskan bahwa akibat dari pengkonsumsian tersebut, AW kehilangan konsentrasi dan gagal mengendalikan diri. Akibatnya ia akhirnya membuat konten yang menggegerkan itu. AW telah mengakui kesalahannya dan berjanji tidak akan mengulagi perbuatannya.
“Polri memberikan kesempatan yang bersangkutan untuk kita bina, sehingga pada malam harinya pada 18.30 saudara AW dipulangkan ke rumahnya dan tentu tidak dilakukan proses hukum, namun dilakukan secara pembinaan,” demikian penuturan Ramadhan. Upaya Polri menempatkan diri sebagai aparat pembina masyarakat demi perlindungan dan pengayoman telah banyak diapresiasi oleh masyakat. Dikatakan ini merupakan bagian dari edukasi yang penting.
Protes dan Ancaman Terhadap Densus Harus Selalu Diwaspadai
Sejak pembentukannya pada tahun 2003, Pasukan elit Densus 88 anti teror sebenarnya memang tidak sepi dari protes masyarakat. Pertanyaan sinisme yang keluar antara lain untuk siapa bekerja, darimana dana operasionalnya dan lain sebagainya. Tidak sedikit yang malahan mendesak agar Densus 88 dibubarkan termasuk oleh pihak seperti ulama yang tergabung dalam apa yang dinamakan Solidaritas Umat Islam (SOLI).
Tentu saja teriakan dan tuntutan atas pembubaran itu dianggap hanya sebagai upaya sebagian pihak untuk melindungi terduga teroris agar tidak mudah ditangkap oleh pihak berwajib. Sekalian orang yang ingin Densus dibubarkan boleh jadi justru terafiliasi dengan kelompok-kelompok terorisme yang kerap membuat kekacauan, kata mereka. Kepala Bagian Bantuan Operasi Densus 88 Antiteror Polri Kombes Aswin Siregar. Telah menjelaskan bahwa Densus-88 telah biasa menerima berbagai ancaman seperti yang viral terjadi belakangan ini. Namun di lain pihak menurutnya kasus teror yang diarahkan kepada satuannya justru sebenarnya telah banyak menurun.
“Kalau menurut monitoring kita, justru sudah menurun dan terlihat lebih tenang postingan tentang penangkapan kemarin di internet dan sosmed,” jelasnya. Lebih lanjut, pengamat terorisme dari The Community of Ideological Islamict Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya mengatakan, potensi serangan terhadap Densus 88 oleh kelompok teroris terbilang kecil. Selanjutnya dikatakan bahwa kalaupun ada, serangan dilakukan oleh kelompok di luar Jamaah Islamiyah sebagai peringatan terhadap penegak hukum. Dengan munculnya kembali protes maupun ancaman khususnya kepada Densus 88, jelas akan sangat bagus untuk tetap senantiasa melakukan koreksi dan evaluasi demi perbaikan-perbaikan khususnya dalam penanganan masalah-masalah terorisme yang kompleks, sensitif dan perlu penanganan khusus demi penerimaan yang terbaik dari masyarakat. (Isk – dari berbagai sumber).