Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan akan menaikkan pangkat Komandan Korps Brimob (Dankor Brimob) Polri menjadi jenderal bintang tiga atau komjen. SDM dan anggaran berlimpah, bagaimana dengan kinerjanya ?
Jakarta – (16/11/2021). Konsekuensi logis dari kenaikan pangkat tersebut sangat signifikan. Beberapa diantaranya adalah bakal bertambahnya jumlah Markas komando (mako) dan personel Brimob. “Tentunya kita akan tindak lanjuti seperti itu ya (menambah mako). Tentunya nanti Polri akan menyiapkan dari segi manajemen, mulai dari 4M mulai dari man SDM-nya, money anggarannya, material logistiknya, dan metodenya. Itu otomatis akan diikuti. Kita akan ikuti dan tentunya akan berkembang,” ujar Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan dalam jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta Selatan.
Ramadhan menjelaskan hal tersebut diperlukan demi peningkatan pelayanan hingga menghadapi tantangan tugas Polri. Ramadhan menyebut akan ada tambahan satuan baru di Brimob, mulai dari Danpas I, Danpas II, Danpas III, hingga Danpas Ibu Kota Negara (IKN).
“Ini dalam upaya meningkatkan pelayanan terkait dengan tugas pokok Polri, ini semua kaitannya dengan tantangan tugas dan dihadapi oleh Polri sesuai dengan tugas pokok Polri, melindungi, melayani dan mengayomi masyarakat,” tuturnya.
“Kita lihat ada Brimob Nusantara, sehingga ketika ada diperlukan apakah itu pengamanan suatu objek, kita akan mengirim sehingga dengan adanya Danpas I, II, III, dan komandonya itu lebih memudahkan pergerakan pergeseran pasukan dari satu titik ke titik lain,” sambung Ramadhan.
Tugas dan Tanggung Jawab Berat
Sebelumnya, Jenderal Sigit mengatakan akan menaikkan pangkat Dankor Brimob Polri menjadi jenderal bintang tiga. Sigit menyebut hal itu dilakukan karena dewasa ini tugas dan tanggung jawab yang diemban Dankor Brimob semakin berat. Seperti diketahui, saat ini Dankor Brimob dijabat jenderal bintang dua atau Irjen. “Saat ini sedang berproses tentunya. Korbrimob dengan pengembangan ini akan kita tingkatkan, kita dorong untuk tambahan beberapa bintang dan juga Dankor Brimob sendiri kita tingkatkan untuk menjadi bintang tiga, karena tugas dan tanggung jawabnya semakin berat,” kata Sigit saat memperingati momentum HUT ke-76 Korps Brimob Polri di Mako Korbrimob, Kelapa Dua, Depok, seperti dalam keterangan tertulis.
Sigit memastikan Korps Brimob Polri akan terus memberikan pelayanan dan pengabdian terbaik untuk Indonesia. Brimob, kata Sigit, saat ini memiliki peran besar dalam pengendalian situasi keamanan dan ketertiban masyarakat (sitkamtibmas) dan operasi bantuan kemanusiaan. Atas hal itu, Sigit mengungkapkan saat ini sedang dilakukan restrukturisasi organisasi atau pengembangan organisasi untuk menghadapi segala tantangan yang ada saat ini. “Sehingga kita berikan pelayanan terbaik dan cepat ke masyarakat yang membutuhkan. Karena itu kehadiran Brimob dalam menghadapi situasi kamtibmas dan kegiatan-kegiatan yang membutuhkan kehadiran Brimob dalam operasi kemanusiaan betul-betul bisa kita laksanakan,” kata Sigit.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo bakal menaikkan pangkat Dankor Brimob menjadi jenderal bintang tiga (komjen). Tugas dan tanggung jawab yang makin kompleks menjadi salah satu alasan utamanya. Untuk diketahui, Dankor Brimob saat ini dijabat oleh perwira tinggi bintang dua. Kapolri juga mengatakan bakal menambah posisi bintang di Korps Brimob. “Saat ini sedang berproses tentunya. Korbrimob dengan pengembangan ini akan kita tingkatkan, kita dorong untuk tambahan beberapa bintang dan juga Dankor brimob sendiri kita tingkatkan untuk menjadi bintang tiga, karena tugas dan tanggung jawabnya semakin berat,” kata Sigit saat memperingati momentum HUT ke-76 Korps Brimob Polri di Mako Korbrimob, Kelapa Dua, Depok, seperti dalam keterangan tertulis, Minggu (14/11/2021).
Peran Penting Brimob
Sigit mengatakan restrukturisasi organisasi atau pengembangan organisasi ini bertujuan menjawab tantangan yang dihadapi Brimob saat ini. Sigit mengatakan Brimob mempunyai peran penting dalam pengendalian situasi keamanan dan ketertiban masyarakat (sitkamtibmas) dan operasi bantuan kemanusiaan.
“Sehingga kita berikan pelayanan terbaik dan cepat ke masyarakat yang membutuhkan. Karena itu kehadiran Brimob dalam menghadapi situasi kamtibmas dan kegiatan-kegiatan yang membutuhkan kehadiran Brimob dalam operasi kemanusiaan betul-betul bisa kita laksanakan,” kata Sigit.
Menurut Sigit, Korps Brimob Polri memiliki tanggung jawab dan tantangan yang semakin berat. Tak hanya itu, demi menjawab segala tantangan, nantinya akan ditambah pula jumlah personel Brimob di Indonesia bagian tengah, bagian timur, bagian barat, dan Ibu Kota Negara.
“Saat ini sedang berproses tentunya. Korbrimob dengan pengembangan ini akan kita tingkatkan, kita dorong untuk tambahan beberapa bintang dan juga Dankor Brimob sendiri kita tingkatkan untuk menjadi bintang tiga. Karena tugas dan tanggung jawabnya semakin berat,” ucap eks Kabareskrim Polri ini.
Sigit menegaskan, semua ini dalam rangka memberikan respons cepat terhadap dinamika yang terjadi di lapangan sehingga dapat memberikan pelayanan terbaik dan cepat ke masyarakat yang membutuhkan. Di sisi lain, Sigit juga menyampaikan apresiasi kepada seluruh jajaran Brimob, baik di pusat maupun daerah, yang telah memberikan pengabdian terbaik untuk bangsa Indonesia.
Era Reformasi
Di era reformasi, Polri mendapatkan dukungan publik yang begitu luas, ditandai dengan keputusan politik memisahkan Polri dari institusi dan garis komando TNI pada 1 April 1999. Keputusan tersebut ditetapkan dalam Tap MPR/VI/2000 tentang pemisahan ABRI (TNI dan Polri) serta Tap MPR/VII/2000 tentang peran kedua lembaga tersebut dengan menempatkan TNI di bawah Departemen Pertahanan, khusus Polri berada langsung di bawah Presiden. Tindak lanjut dari keluarnya kedua Tap MPR tersebut adalah dikeluarkannya UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan UU No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara, yang berkaitan juga dengan peran dan posisi TNI dalam peran perbantuannya pada Polri.
Setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, secara resmi polisi memisahkan diri dari tubuh TNI dan menjadi Polisi Sipil. Perjalanan reformasi Polri secara garis besar dijelaskan bahwa Polri memiliki fungsi pemerintahan negara yang bertujuan dan berperan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) serta menegakkan hukum guna terpeliharanya keamanan dalam negeri dalam kultur Polisi sipil.
Korps Brimob Polri sebagai bagian integral Polri juga memiliki tugas pokok dan fungsi untuk melaksanakan dan menggerakkan kekuatan Brimob Polri dalam menanggulangi gangguan Kamtibmas berkadar tinggi, utamanya kerusuhan massa, kejahatan terorganisasi bersenjata api, bom, bahan kimia, biologi dan radioaktif yang pelaksanaan tugas Brimob tersebut dilandaskan atas fungsi Brimob Polri sebagai satuan pamungkas Polri (Striking Force) yang memiliki kemampuan spesifik penanggulangan keamanan dalam negeri yang berkadar tinggi dan penyelamatan masyarakat yang didukung oleh personel terlatih dan memiliki kepemimpinan yang solid, peralatan dan perlengkapan dengan teknologi modern.
Sedangkan peran Brimob Polri dalam organisasi adalah melakukan manuver, baik secara individual atau dalam kelompok dengan daya gerak, daya tembak dan daya sergap untuk membatasi ruang gerak, melumpuhkan, menangkap para pelaku kejahatan beserta saksi dan barang bukti dengan cara: membantu, melengkapi, melindungi, memperkuat dan menggantikan satuan kepolisian yang ada.
Brimob Polri ditugaskan menjaga keamanan dalam negeri dari ancaman kejahatan yang berintensitas tinggi. Keberhasilan Korps Brimob Polri dalam menanggulangi ancaman Kamtibmas di Indonesia, tidak terlepas adanya dukungan dari masyarakat bangsa dan negara yang menginginkan rasa aman dan nyaman tercipta di negeri ini. Korps Brimob Polri juga memiliki kemampuan Search and Rescue (SAR) yang digunakan dalam tugas-tugas kemanusiaan dalam membantu dan mengevakuasi korban bencana alam yang terjadi di Indonesia.
Intensitas perlibatan kekuatan Brimob Polri dalam penanggulangan tindak pidana terorisme di Indonesia meningkat pasca serangan teror Bom Bali I. Disamping dilibatkan dalam operasi-operasi kepolisian lainnya, khususnya dalam menghadapi kejahatan berintensitas tinggi. Seperti keberhasilan Polri dalam mengungkap dan menangani kasus terorisme di wilayah Poso Sulawesi Tengah baru-baru ini juga tidak terlepas dari adanya peran Korps Brimob Polri yang tergabung dalam operasi Tinombala bersama dengan TNI.
Polri juga dihadapkan pada tugas menangani kejahatan transnasional. Hal ini konsekuensi atas perkembangan dan kemajuan teknologi komunikasi, transportasi dan informasi yang kini batas-batas fisik suatu negara menjadi sesuatu hal yang maya. Kompleksitas pelaku dan objek perbuatan serta kesulitan akibat perbedaan hukum positif antar negara merupakan ciri khas dari kejahatan transnasional. Seperti, money laundering, illegal fishing, human trafficking dan drugs trafficking.
Penambahan Anggota
Kompleksitas masalah yang dihadapi Brimob dan besarnya jumlah anggota juga ikut menjadi pertimbangan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Tjahjo Kumolo, menyebut akan ada perubahan struktur kepangkatan di tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Setidaknya, terdapat satu pos pejabat di Polri mengalami kenaikan pangkat. Nantinya, Kepala Korps Brimob Polri dijabat jenderal berpangkat bintang tiga dari sebelumnya bintang dua. “Brimob karena sekarang ada 48 ribu anggota, mau ditingkatan 60 ribu anggota, itu kalau dipimpin dengan bintang dua, kan, enggak pas. Jadi, harus bintang tiga,” kata Tjahjo dalam Rapat Koordinasi (Rakornas) antara Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) se-Indonesia di Sentul International Convention Center (SICC), Kabupaten Bogor Jawa Barat.
Ke depan, kata dia, struktur kepangkatan di Polri bisa terus mengalami penyesuaian. Saat ini, kata Tjahjo, Kemenpan-RB tengah mengkaji penambahan pangkat bintang dua di Polri.
“Jadi, kalau di kepolisian hanya menambah satu bintang menjadi tiga, dan yang sedang kami bahas dan kaji itu penambahan bintang dua ada empat,” lanjut dia. Di lain sisi, Tjahjo mengaku akan melihat detil perampingan eselon di kementerian lembaga maupun di tingkat daerah. Ia menjelaskan, masih ada kesulitan perampingan untuk aparatur sipil negara (ASN) di daerah. “Ternyata masih ada beberapa hal yang sulit dipangkas, misal kepala kantor, kepala kelurahan, camat. Maka untuk merampingkan dalam rangka mempercepat layanan dan perizinan kami akan hati-hati, totalitas, mana yang harus alih pejabat fungsional dan yang tidak,” jelasnya.
Korps Brimob Dari Masa Ke Masa
Beberapa hari usai insiden di Mako Korps Brimob awal Mei 2018 lalu, melalui media sosial beredar cerita seputar keterlibatan Batalyon Teratai (Brimob) dalam Operasi Seroja di Timor Leste (d/h Timor Timur) tahun 1976. Sudah tentu beredarnya cerita soal Batalyon Teratai bisa dianggap sebagai olok-olok, mengingat Batalyon Teratai gagal total dalam operasi di Timtim tersebut.
Ibarat bunyi pepatah lama “sudah jatuh tertimpa tangga”. Bagaimana tidak, kisah kegagalan Batalyon Teratai justru viral di saat Korps Brimob sedang menghadapi tekanan besar dari publik, sehubungan insiden di Mako Brimob baru-baru ini. Kegagalan Batalyon Teratai tersebut bisa digambarkan dengan bentuk hukuman yang mereka terima dari Kombes Anton Soedjarwo, Komandan Korps Brimob saat itu.
Saat mendarat di Pelabuhan Tanjung Priok, seluruh anggota pasukan, mulai dari Komandan Batalyon (AKBP Ibnu Hajar, lulusan terbaik PTIK di angkatannya) hingga prajurit berpangkat tamtama, diharuskan jalan kaki (long march) menuju markas mereka di Kelapa Dua, Depok, kurang lebih sejauh 30 km. Mungkin karena merasa bertanggungjawab, serta rasa malu yang tak tertahankan, Ibnu Hajar mengajukan pensiun dini pada tahun 1985, saat menjabat (setara) Komandan Denma Mabes Polri, dengan pangkat Komisaris Besar.
Memulihkan Kepercayaan Publik
Mengikuti perkembangan sebuah satuan militer, khususnya bagi yang berminat, memiliki daya tarik sendiri. Menurut Pengamat Militer Aris Santoso dalam artikelnya berjudul ”Bagaimana Cara Merebut Kembali Kejayaan Korps Brimob”, Satuan Brimob sama seperti kehidupan manusia, dengan segala jatuh-bangunnya, yang akhirnya tetap tegak, bahkan melegenda.
Meski pernah mengalami pasang-surut yang dahsyat, selalu ada ruang untuk bangkit kembali, termasuk bagi Brimob. Selain cerita pahit Batalyon Teratai, pada dekade berikutnya kembali mengalami masa suram, tatkala Korps Brimob hanya dipimpin perwira berpangkat Kombes (kolonel), bandingkan dengan sekarang yang komandannya jenderal bintang dua (Ispektur Jenderal).
Peristiwa dimaksud terjadi di masa kepemimpinan Pangab Jenderal Benny Moerdani (1983-1988). Bagi matra darat, era kepemimpinan Benny bisa jadi adalah kenangan indah, namun tidak bagi Korps Brimob. Pada era Benny, posisi Brimob seolah mencapai titik nadir, selain hanya dipimpin perwira berpangkat kombes (kolonel), struktur komandonya sekadar “dititipkan” pada Direktorat Samapta Mabes Polri, jadi bukan sebagai Korps yang berdiri sendiri. Direktur Samapta sendiri saat itu berpangkat brigjen, setara dengan Direktur Reserse Mabes Polri, sementara posisi Kabareskrim Mabes Polri sekarang adalah pati bintang tiga (komisaris jenderal).
Pada waktu bersamaan, figur legendaris Brimob (khususnya bagi Resimen Pelopor) yakni Jenderal Anton Sujarwo menjabat Kapolri. Terlihat ada faktor politis di sini, seolah memang ada grand design Benny untuk mengecilkan peran Brimob. Sementara Anton Soejarwo sebagai sesepuh Brimob, tidak mampu berbuat banyak bagi Brimob yang sedang menghadapi cobaan kala itu. Bagi yang paham zaman itu, memang seolah terjadi saling “sandera” antara Benny dan Anton, mengingat keduanya adalah segenerasi dan sama-sama tokoh kebanggaan dari satuan asal.
Terkadang nama besar Brimob, justru menempatkannya pada posisi dilematis. Seperti di masa Presiden Soekarno dulu, satuan ini sempat terseret-seret dalam wilayah politis praktis, yang terbukti merugikan citra satuan di kemudian hari. Begitu dekatnya hubungan emosional antara Bung Karno dengan Brimob, terlihat ketika Bung Karno mengorbitkan seorang perwira Brimob berpangkat Kombes menjadi Kapolri, yakni Sutjipto Danukusumo (Kapolri 1964-1965).
Itu bisa terjadi, mengingat pasukan Brimob di bawah Komisaris Sutjipto yang mengawal Bung Karno di masa-masa awal kemerdekaan dulu, ketika satuan semacam Paspampres belum lagi dibentuk.
Salah satu cara Brimob untuk merebut kembali kepercayaan publik, adalah dengan meningkatkan kemampuan satuan, seraya mengambil jarak dengan politik kekuasaan. Salah satu kemampuan yang paling aktual untuk ditingkatkan – baik di tingkat satuan kecil maupun perorangan – adalah dalam hal antiteror. Dengan mengasah kemampuan di bidang ini, Brimob telah memberi andil besar bagi terciptanya rasa aman masyarakat, yang memang merupakan visi Brimob sejak didirikan dulu.
Sinergi Antar Satuan
Bagi negeri kita, begitu krusialnya ancaman teror, maka satuan antiteror telah dikembangkan pada semua angkatan, seperti Detasemen Jala Mangkara (Korps Marinir), Komando Pasukan Katak TNI-AL, Detasemen Bravo 90 Paskhas TNI-AU, Resimen IV Gegana (Brimob Polri), Detasemen Khusus 88 (Polri), dan Satgultor-81 Kopassus. Satuan yang disebut terakhir ini secara historis dianggap sebagai pelopor dalam pembentukan satuan sejenis.
Namun perlu diingat pula, ketika dua perwira Baret Merah (Kopassus), masing-masing (dengan pangkat saat itu) Mayor Inf Luhut Panjaitan dan Kapten Inf Prabowo Subianto ketika dikirim ke Jerman, sebagai rintisan pembentukan Detasemen 81 (nama terdahulu Satgultor 81), keduanya berlatih di lembaga kepolisian Jerman.
Lembaga atau satuan dimaksud adalah GSG 9 (Grenzschutzgruppe 9). Satuan anti-teror GSG 9 termasuk terbaik di dunia untuk kategori satuan sejenis, yang dibentuk sebagai respons atas peristiwa penyanderaan atlet Israel pada Olimpiade di München (1972).
Dalam sebuah kesempatan pembicaraan informal, Pengamat Militer Aris Santoso dengan perwira-perwira Kopassus generasi 1990-an, secara ringkas bisa disimpulkan, yang paling utama dalam menilai, bagaimana tingkat keandalan sebuah satuan antiteror, jangan dilihat bahwa satuan itu berada di bawah marinir, polisi atau tentara. Namun dilihat bagaimana intensitas pelatihannya, perencanaan, peralatan (senjata, kacamata infra-merah, dan alat bantu lainnya), rasa percaya diri, dan fleksibilitas dalam eksekusi di lapangan.
Asumsi ini kiranya bisa menjadi bahan kajian, untuk mencapai hasil optimal dalam operasi, perlu ada sinergi satuan antiteror di Tanah Air. Misalnya dengan latihan bersama, atau saling tukar informasi mengenai teori dan teknik terbaru, termasuk informasi tentang peralatan canggih lainnya. Satu hal yang wajib dihindari adalah munculnya semacam ego sektoral pada masing-masing satuan, pada fase inilah rencana pembentukan Koopsusgab (Komando Operasi Khusus Gabungan) TNI menemukan relevansinya. Meski Koopsusgab hanya terdiri dari satuan (antiteror) di bawah TNI, namun secara prosedural posisi Brimob tetap sebagai ujung tombak.
Mendeteksi Teror Bom
Arti penting koordinasi dan tukar informasi kini semakin semakin terasa, mengingat ada “perkembangan” dalam bentuk teror: dari teroris (sekelompok manusia) menjadi ledakan bom (benda). Sebagaimana diketahui, unit-unit antiteror di negeri kita, pada umumnya dilatih untuk menghadapi aksi-aksi teror dari sekelompok teroris, artinya yang dihadapi adalah sekelompok manusia juga, seperti pembajakan pesawat terbang atau penyanderaan di gedung bertingkat. Bila yang dihadapi adalah bom, perlu ada metode dan kurikulum pelatihan tersendiri.
Kemampuan yang ada selama ini, adalah sebatas melumpuhkan atau menjinakkan bom, yang belum sempat meledak dan sudah diketahui keberadaannya. Tugas ini biasa dilakukan oleh unit Jihandak (Penjinakan Bahan Peledak) dari Gegana Brimob Polri dan satuan dari Zeni AD. Kasus peledakan bom akhir-akhir ini, telah memberi pelajaran pada kita, tentang perlunya kemampuan melacak keberadaan bom-bom yang belum diketahui secara pasti keberadaannya.
Untuk mengetahui keberadaan bom, sebagai upaya pencegahan bencana yang lebih besar. Salah satu langkah adalah kerja sama yang rapi dengan satuan intelijen. Dengan demikian perlu ada peningkatan simultan, dalam hal kemampuan dan koordinasi, antara personel unit intelijen dan unit antiteror. Biasanya memang personel intel dan antiteror berada dalam satuan yang terpisah. Seperti di Kopassus misalnya, unit intel tergabung dalam Grup 3/Sandi Yudha, sedang unit antiteror tergabung dalam Satgultor (Satuan Penanggulangan Teror). Demikian juga yang terjadi dalam Resimen IV/Gegana Brimob Polri. Fungsi intelijen dipegang oleh Detasemen A, sementara Detasemen C menjalankan fungsi antiteror.
Secara ringkas bisa dikatakan, bahwa lembaga intelijen, baik yang sipil (BIN), maupun di bawah TNI atau Polri, diharapkan mampu mendeteksi dini setiap bahaya yang mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat. Dalam bahasa umum, bahaya adalah kejadian (kondisi) yang apabila dibiarkan berpotensi menjadi gangguan, sedangkan gangguan adalah sudah tahap berbahaya. Cara bertindak juga berbeda, bahaya ditangani dengan preventif, yang menjadi domain lembaga intelijen.
Belajar Dari Sejarah
Dewasa ini, Brimob yang dipimpin oleh Inspektur Jenderal Anang Revandoko, tampaknya sudah belajar dari pengalaman dan sejaran Brimob yang panjang. Keterampilan dan profesionalitas pasukan terus ditingkatkan karena tantangan masalahnya demikian besar dan kompleks. Maka tak heran jika Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo justru berbeda dengan para pendahulunya. Dia memutuskan untuk lebih meningkatkan peran dan fungsi Brimob lebih luas lagi. Komandannya dinaikkan pangkatnya menjadi bintang 3 atau Komisaris Jenderal. Dan inilah terobosan sekaligus sejarah baru bagi Brimob di era modern yang mendapatkan tempat dan panggung yang lebih luas. Seperti disampaikan Menpan RB, Tjahjo Kumolo, anggota Brimob akan terus ditingkatkan jumlahnya dari sekarang 48.000 orang menjadi 60.000 orang bahkan di tahun 2025 bisa ditingkatkan menjadi 100 ribu orang yang berarti seperenam dari total anggota Polri saat ini yang mencapai lebih kurang 600 ribu orang. Kini saatnya Brimob merebut kembali panggung dan bintang kesuksesannya. (Saf).