Tiga tipologi polisi: nakal, profesional dan kriminal kini seolah campur baur di tubuh organisasi Kepolisian RI. Puluhan ribu anggota Polri Profesional terhapus nama baiknya hanya karena satu polisi yang nakal atau kriminal. Penyakit lama yang tak kunjung sembuh. Adakah resep manjur untuk memberantasnya ?
Jakarta – 04/11/21. Lebih dari 20 tahun yang lalu, pada zaman Kapolri dijabat oleh Jend. (Pol) Sutanto ada gagasan untuk mempublikasikan “Polisi Nakal” yang berkeliaran di masyarakat untuk dipublikasikan. Ide ini mengemuka ketika ada rapat dengar pendapat di Komisi III DPR RI dengan Kapolri. Peristiwa itu terekam pada 17 September 2007 atau lebih dari duapuluh tahun yang lalu.
Rakyat sudah jenuh dengan perilaku negatif saat itu yang cenderung meningkat. Perilaku Polisi Nakal antara lain menilang tanpa kesalahan jelas, menerima suap, meminta imbalan, meminta imbalan dalam penyidikan, menangkap seseorang dengan rekayasa, dan lain sebagainya. Gagasan tersebut sampai saat ini belum maksimal dan terkesan berhenti pada tataran gagasan dan tidak efektif untuk merubah kultur polisi yang cenderung negatif di mata masyarakat.
Terhadap Polisi Nakal secara internal hanya dapat ditegakkan Peraturan Disiplin Anggota Polri sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 2003. Sanksi-sanksi disiplin yang dijatuhkan kepada anggota Polri yang nakal pun selama ini cenderung tidak memilik efek jera (deterrent effect). Jadi jangan heran apabila di tengah masyarakat kita masih menemui polisi-polisi nakal.
Berbeda dengan Polisi Nakal, tipologi ideal seorang Polisi adalah harus Profesional dan bekerja berdasarkan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia serta menjujung tinggi harkat dan martabat manusia. Polisi jenis ini masih sangat jarang dijumpai dalam praktek.
Walaupun UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, PP No. 2 tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri serta PeraturanKapolri No. 14 tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri, menekankan pentingnya polisi bekerja secara profesional dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, namun untuk mencapai hal ini membutuhkan kerja keras merubah kultur polisi dan waktu serta biaya yang tidak sedikit. Padahal untuk mencetak satu orang polisi saja negara sudah mengeluarkan investasi yang tidak sedikit. Sangat mengecewakan dan lebih tepatnya penghianat bila ada anggota polisi yang nakal apalagi kriminal. Menghianati bangsa, negara dan rakyat Indonesia.
Era Polisi Promoter
Selanjutnya selama kepemimpinan Jend. (Pol) Tito Karnavian, Polri menerapkan jargon PROMOTER (Profesional, Modern dan Terpercaya) dan ini pun hanya berjalan pada tataran gagasan dan sulit diterapkan dalam tataran praktis. Polisi Profesional yang harus menjauhkan sikap-sikap dan perilaku yang melanggar disiplin dan kode etik profesi Polri serta menjauhkan sikap dan perilaku yang kriminal ditengah-tengah masyarakat. Terhadap Polisi Profesional ini baik Negara, Polri, dan Masyarakat harus memberikan apresiasi yang tinggi berupa kenaikan pangkat luar biasa dan promosi jabatan atas prestasi dan keprofesionalan dalam tugas dan dinas Polri.
Tipologi Polisi yang ketiga adalah Polisi Kriminal. Dalam kenyataannya banyak dijumpai polisi kriminal. Ada polisi yang membunuh isteri dan keluarganya, ada polisi pelaku mutilasi, polisi yang koruptor, polisi pemerkosa, polisi cabul, polisi penganiaya, dan bahkan polisi yang membunuh dirinya dengan berbagai macam motif.
Ada satu peristiwa yang menimpa seorang advokat di Bogor bernama Farid Muadz Basakran. Dia menjadi korban penganiayaan yang dilakukan oleh Evan Geovany bin Asep Rustandi oknum anggota Satintelkam Polres Bogor berpangkat Brigadir ketika peristiwa penganiayaan itu terjadi pada 12 Mei 2015 di alun-alun Masjid Agung Empang Kota Bogor. Pada saat peristiwa pidana penganiayaan itu terjadi, korban melaporkan kasus yang menimpanya di Polresta Bogor Kota sebagai tindak pidana penganiayaan berdasarkan Pasal 351 KUH Pidana. Dua kali korban mengajukan permohonan praperadilan, dan setelah berlangsung sekitar 18 (delapan belas) bulan penyidikan perkara baru disidangkan di Pengadilan Negeri Bogor pada 10 Anuari 2017. Ironisnya, oleh Penyidik Polresta Bogor Kota, pasal yang semula disangkakan yakni pasal 351 KUH Pidana diubah menjadi pasal 352 KUH Pidana (Tindak Pidana Ringan) dan disidangkan dengan Acara Pemeriksaan Cepat di Pengadilan Negeri Bogor. Atas kenakalan Penyidik Polresta Bogor Kota sebagian sudah mendapatkan sanksi disiplin dan sebagaian lainnya sedang dalam proses hukum dan proses pemeriksaan pelanggaran disiplin.
Akhirnya Polisi Kriminal ini hanya dihukum dengan pidana penjara selama 1 (satu) bulan berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Bogor No. 1/Pid.C/2017 tanggal 10 Januari 2017. Polisi Kriminal ini sudah menjalani pidana penjara selama 1 (satu) bulan sejak 16 Mei 2017 hingga 15 Juni 2017 sebagai narapidana di Lapas kelas II A Kota Bogor.
Yang lebih menyedihkan lagi dan merupakan pelecehan terhadap ilmu hukum pidana dan hukum kepolisian serta undang-undang yang berlaku, Polisi Kriminal ini belum di berhentikan tidak dengan hormat atau pemberhentian tidak dengan hormat dari dinasnya di Polres Bogor. Padahal menurut Pasal 21 ayat (3) Peraturan Kapolri No. 14 tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri jo. Pasal 12 ayat (1) huruf a PP No. 1 tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri sudah jelas bahwa terhadap anggota Polri yang telah dijatuhkan pidana berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum maka dapat diberhentikan dengan tidak hormat dari dinas Polri.
Kendalanya justru ada pada Ankumnya di Polres Bogor yang tidak mau melaksanakan hukum dan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Kultur polisi yang melindungi anggota yang bersalah masih terjadi dalam kasus seperti ini dan dalam kasus-kasus lainnya.
Bila kultur Polri yang tidak profesional, nakal dan kriminal serta saling melindungi anggotanya yang bersalah dan berbuat pidana, sulit diharapkan Polisi yang PROMOTER (Profesional, Modern, dan Terpercaya). Kepercayaan masyarakat justru akan semakin menipis.
Era Polisi Presisi
Dari Polisi Promoter ke era Polisi Presisi di bawah komando Jenderal Listyo Sigit Prabowo juga terus mengalami ujian dan tantangan. Kapolri tentu memiliki tugas cukup berat. Saat ini polisi ada dalam sorotan tajam mata masyarakat. Beberapa kasus dianggap “aneh” seperti wanita pedagang yang dihajar preman, lapor polisi, malah menjadi tersangka. Belum lagi kasus ayah memperkosa tiga putrinya. Ada juga kasus pembunuhan ibu dan anak di Subang yang juga “aneh” karena tak kunjung terkuak pelakunya.
Terbaru yang menjadi beban Kapolri adalah bawahannya yang membanting satu mahasiswa yang mengadakan aksi unjuk rasa di Tangerang. Ini pun tak lepas dari sorotan tajam mata masyarakat lewat medsos. Bagaimana mungkin polisi yang harus mengayomi malah bertindak seperti itu. Belum lagi tindakan berlebihan polisi yang memeriksa HP warga juga menjadi sorotan bahkan viral di seluruh platform media sosial. Belum mereda kasus-kasus tersebut, Iptu Eci Agus Sugiyarso muncul. Eci mungkin tak menyangka aksi viralnya memamerkan segepok uang hasil arisan berdampak pada karier suaminya di Institusi Polri.
Sang suami, AKBP Agus Sugiyarso, harus merelakan melepas jabatannya sebagai Kapolres Tebingtinggi dan kini ditarik ke Polda Sumut dalam rangka evaluasi jabatan. Mutasi itu tertuang dalam ST Kapolri Nomor ST/2280/X/KEP./2021 tanggal 31 Oktober 2021 yang diteken AS SDM Polri Irjen Wahyu Widada atas nama Kapolri. Dalam surat tersebut, AKBP Agus Sugiyarso dimutasi sebagai Pamen Yanma Polri dalam rangka evaluasi jabatan.
Iptu Eci diketahui merupakan seorang perwira polwan. Dia baru beberapa hari bertugas di Bidang Logistik Polda Sumut. Atas kejadian tersebut, Iptu Eci Agus Sugiyarso turut diperiksa Bidpropam Polda Sumut terkait sumber uang dan tujuan memamerkannya di akun TikTok. Pemeriksaan sementara, uang yang dipamerkan dalam media sosial merupakan hasil arisan. Video itu direkam asisten pribadinya kemudian diunggah ke medsos. Sementara itu, Kapolda Sumut Irjen Pol RZ Panca Putra Simanjutak mengecam tindakan anak buahnya yang menggambarkan gaya hidup hedonis ke masyarakat.
“Itu (pamer) tidak boleh. Itu kebiasaan pamer uang, prinsipnya hati-hati menggunakan jari, ini bukan terhadap polisi saja tapi masyarakat juga,” kata Panca. Kapolda kembali menegaskan, berselancar di media sosial jika tidak hati-hati bisa menimbulkan kesalahpahaman di publik. Hal itu juga bisa menimbulkan citra negatif Polri di tengah masyarakat. Dia menegaskan akan menindak tegas anggotanya yang melanggar kode etik. Terlebih kini Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo memberikan atensi besar terhadap pelanggaran anggota untuk menegakkan Polri Presisi.
Jawaban Kapolri
Menjawab berbagai kasus tersebut, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, menginstruksikan kepada seluruh jajarannya untuk memberikan tindakan tegas kepada oknum anggota kepolisian yang melanggar aturan saat menjalankan tugasnya. Jangan ragu memberikan sanksi tegas berupa pidana atau Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) kepada personel yang tidak menjalankan tugas sesuai aturan. “Perlu tindakan tegas, jadi tolong tidak pakai lama, segera copot, PTDH, dan proses pidana. Segera lakukan, dan ini menjadi contoh bagi yang lainnya. Saya minta tidak ada Kasatwil yang ragu, bila ragu, akan diambil alih Mabes Polri. “
Perbuatan oknum anggota kepolisian seperti itu telah merusak marwah dari institusi Polri. Termasuk, menciderai kerja keras dan komitmen dari personel Korps Bhayangkara yang telah bekerja secara maksimal untuk masyarakat. Seperti, anggota Polri yang berjuang keras dalam penanganan dan pengendalian Pandemi Covid-19. Harapannya, tindakan tegas kepada oknum polisi yang melanggar aturan dapat memberikan efek jera. “Saya tidak mau ke depan masih terjadi hal seperti ini, dan kita harus melakukan tindakan tegas. Karena kasihan anggota kita yang sudah kerja keras, yang capek selama ini berusaha berbuat baik, terus kemudian hancur gara-gara hal-hal seperti ini. Tolong ini disikapi dengan serius, kemudian lakukan langkah-langkah konkret yang baik,” ungkapnya.
Apresiasi
Pada sisi lain, POLRI memberikan apresiasi kepada seluruh personel yang selama ini telah berjuang dan bekerja keras menjaga nama baik institusi, serta bangsa Indonesia. Dia berharap, perilaku oknum tersebut tak mengendorkan semangat personel yang telah bekerja baik selama ini. “Saya berikan apresiasi atas kerja keras, tetap semangat dan yakini apa yang dilakukan di lapangan benar sesuai SOP. Namun bila ada kesengajaan dan pelanggaran dari oknum yang bisa menjatuhkan marwah institusi, maka saya minta tak ada keraguan untuk memberikan tindakan tegas,” tegas Listyo.
Kedepan seluruh jajaran Polri harus mampu membaca situasi kapan harus mengedepankan pendekatan humanis, dan kapan harus melakukan tindakan tegas. “Jadi lakukan langkah-langkah kapan rekan-rekan harus humanis, kapan rekan-rekan melaksanakan langkah-langkah tegas di lapangan sebagaimana SOP yang berlaku. Itu semua ada ukuran.
Kami menyampaikan apresiasi kepada seluruh masyarakat yang telah memberikan masukkan dan kritikan kepada Polri. Menurutnya, semua aspirasi tersebut akan dijadikan bahan evaluasi demi kebaikan dan kemajuan. Polri lembaga yang terbuka, sehingga tidak anti-kritik, apalagi masukan yang sifatnya membangun untuk menjadikan lebih baik lagi kedepannya. “Jangan anti-kritik, apabila ada kritik dari masyarakat lakukan introspeksi untuk menjadi lebih baik.” Secara formal, Instruksi Kapolri itu tertuang dalam Surat Telegram (ST) Nomor: ST/2162/X/HUK.2.8./2021. Surat telegram tersebut ditandatangani oleh Kadiv Propam Mabes Polri Irjen Ferdy Sambo atas nama Kapolri bertujuan untuk menjaga Marwah Polri dan menjamin agar transformasi di tubuh Polri berjalan di relnya.
Surat Telegram tersebut merupakan wujud sikap tanggap kami sebagai pimpinan Polri yang menyadari adanya kekeliruan yang dilakukan jajaran kepolisian. Kita harus menjadi teladan bagi masyarakat. Bahwa ketika ada masalah, cepat diselesaikan dan mengakui kesalahan. Bukan membela diri, apalagi sampai menyalahkan orang lain. 11 poin dalam ST Kapolri juga membuktikan bahwa program Presisi yang digagas Kapolri bukanlah isapan jempol belaka. Program tersebut merupakan terobosan yang nyata dirasakan perubahannya oleh masyarakat. Untuk itu harus dikawal semua pihak. “Jadi ini bukan jargon semata, tapi upaya atau niat baik kita dalam melakukan pembenahan terhadap organisasi dan person-person di Polri.” Kami berharap agar aksi kekerasan oknum Polri terhadap masyarakat ini menjadi yang pertama dan terakhir, terutama pasca terbitnya ST Kapolri. Sehingga, pada akhirnya Polri bisa semakin Presisi, benar-benar dipercaya serta dicintai masyarakat.
Cinta Polri
Masyarakat dan kita semua saya kira cinta Polri. Karena itu kritik-kritik konstruktif disampaikan. Orang kalau perhatian terhadap sesuatu, artinya peduli, sayang. Harapannya, Polri bisa semakin baik kinerja dan citranya di mata masyarakat. Berkenaan dengan situasi terkini, isu strategis keamanan dalam negeri saat ini mencakup pengamanan keberlanjutan program pembangunan nasional dalam melewati masa pandemi Covid-19; pengarusutamaan moderasi beragama dalam memperkokoh NKRI; pemeliharaan kamtibmas dari gangguan Kelompok Kriminal Bersenjata; dan penegakan kebermanfaatan hukum serta pemenuhan rasa keadilan.
Pemolisian prediktif ini berusaha membangun konsep pemolisian dengan mengedepankan sistem fungsi deteksi; kemudian dianalisis secara integratif; hasil analisis digunakan sebagai bahan sistem pendukung keputusan (decision support system); sehingga akhirnya dapat merealisasikan fungsi pre-emptif dan preventif secara optimal, dan upaya terakhir penegakan hukum dalam rangka pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat.
Lompatan bentuk pemolisian ini diharapkan dapat menjawab tantangan yang semakin serius dalam pengamanan program pembangunan nasional, terutama dalam mengawal isu strategis mengenai pangan, migas, dan mengawal sektor kebijakan migas. Kemudian, responsibilitas dimaknai sebagai rasa tanggung jawab yang diwujudkan dalam ucapan, sikap, perilaku, dan pelaksanaan tugas, yang secara keseluruhan ditujukan untuk menjamin kepentingan dan harapan masyarakat dalam menciptakan keamanan dan ketertiban. Sedangkan transparansi berkeadilan, merupakan realisasi dari prinsip, cara berpikir, dan sistem yang terbuka, proaktif, responsif, humanis, dan mudah untuk diawasi. Sehingga, pelaksanaan tugas-tugas kepolisian akan dapat menjamin keamanan dan rasa keadilan masyarakat.
Adapun pengembangan SDM Polri difokuskan untuk berkreasi, mengevaluasi, dan menerapkan kebijakan yang dikelola melalui sistem pengambilan keputusan pemolisian guna menjaga stabilitas nasional dengan menampilkan wajah polisi yang melayani dan dekat dengan masyarakat dalam melaksanakan tugas secara cepat, tepat, responsif, humanis, transparan, bertanggung jawab, dan berkeadilan. Pertanyaannya sekarang, apakah tindakan tegas Kapolri terhadap anggotanya yang melanggar akan menimbulkan efek jera ? Kita tunggu konsistensi dan realisasi semua tindakan tersebut. (Saf)