Tindakan polisi yang viral karena menggeledah telepon genggam atau HP seorang warga masuk dalam kategori pelanggaran hukum, bahkan berpotensi melanggar HAM. Benarkah ini pelanggaran hukum ? Atau cermin lemah dan belum efektifnya sosialisasi dan pemahaman UU ITE di kalangan aparat sendiri ?
Jakarta – (20/102021). Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan, tindakan itu bertentangan dengan undang-undang hukum pidana. “Ini tindakan yang melanggar hukum ya. Jelas-jelas bertentangan dengan Undang-undang Pidana di mana penyitaan dan penggeledahan itu harus dasar tertangkap tangan atau karena melakukan tindak pidana dan itu pun harus izin pengadilan,” kata Isnur.
Selain itu, dia juga mengemukakan, ada prasyarat dengan kondisi lain yang harus dilalui petugas kepolisian untuk bisa ‘menggeledah’ isi HP. “Kalau pun kemudian dia kena situasi darurat itu pun ditindaklanjuti dengan melapor kepada ketua pengadilan. Adakah perintah penggeledahan dari kepolisian kepada orang-orang ini, jelas saya tidak melihat itu ada, jelas ini melanggar hukum pidana” sambungnya.
Lebih lanjut Isnur juga mengemukakan, perilaku kepolisian itu juga melanggar aturan internalnya sendiri, yakni Peraturan Polri Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. “Jelas ada larangan menggeledah dan menyita karena tidak sesuai dengan melanggar hak privasi. Jadi ini juga yang kedua melanggar peraturan internal kepolisian,” ujarnya. Kemudian perilaku polisi tersebut juga melanggar Undang -Undang (UU) nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). “Jelas juga melanggar UU ITE. Di UU ITE itu ada beberapa ketentuan privasi yang jelas ini adalah melanggar ketentuan UU ITE privasi,” katanya.
Pada UU ITE pasal 30 ayat 1 disebutkan, setiap orang dengan sengaja tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik dengan cara apapun. Kemudian ayat 2, setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik dengan cara apapun dengan tujuan untuk memperoleh informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. “Jadi tindakan kepolisian ini berbahaya melanggar hukum melanggar hak konstruksi dan banyak perundang-undangan,” tegas Isnur.
Viral
Sebagai informasi, awal terjadinya peristiwa yang menjadi viral di media sosial ini adalah ketika anggota polisi menyita dan memeriksa handphone pemuda tanpa surat izin. Video terkait arogansi oknum anggota ini ditayangkan dalam program di televisi swasta hingga ramai diunggah ulang di TikTok hingga Twitter. Video tersebut salah satunya diunggah ulang akun Twitter @xnact. Dia menyoroti tindakan anggota tersebut yang salah satunya diketahui merupakan Aiptu Ambarita. Dalam video itu, Aiptu Ambarita terlihat ngotot jika aparat kepolisian memiliki wewenang untuk memeriksa handphone milik salah satu pemuda saat mereka tengah melaksanakan razia malam.
Padahal, pemuda tersebut telah menolak, sebab dia merasa itu ranah privasinya. Terlebih, pemuda itu juga merasa tidak melakukan suatu tindak pidana. “Polisi tiba-tiba ambil HP lalu periksa isi HP dengan alasan mau memeriksa barangkali ada rencana perbuatan pidana yang dilakukan melalui HP. Boleh tapi harus didahului dugaan tindak pidana. Sejak kapan pak pol bebas geledah HP dan privasi orang atas dasar suka-suka dia?” kicau @xnact pada Sabtu (16/10/2021).
Tidak Boleh Sembarangan
Polemik pro kontra pun berkembang. Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menegaskan, wewenang yang diberikan kepada aparat kepolisian tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Penggeledahan, tegas dia, hanya bisa dilakukan jika ada surat izin dari ketua pengadilan negeri setempat.”Penggeledahan harus didasarkan pada surat izin ketua pengadilan negeri setempat dilakukannya penggeledahan. Pengecualiannya, tanpa surat izin, dalam hal tertangkap tangan,” kata Fickar.
Fickar menuturkan, penggeledahan yang dilakukan polisi tanpa surat izin pengadilan negeri merupakan sebuah bentuk kesewenang-wenangan. Warga yang mengalami tindakan itu pun dapat menuntut ganti rugi karena penggeledahan tidak sah. Ganti rugi dapat diajukan lewat gugatan praperadilan di pengadilan negeri. “Jika menggeledah sembarangan, tanpa izin ketua pengadilan negeri, tidak ada tertangkap tangan, maka polisi sudah menyalahgunakan jabatannya,” ujarnya.
Fickar pun menjelaskan, kewenangan polisi untuk melakukan penggeledahan dan batasannya diatur dalam Pasal 32 sampai 37 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal-pasal tersebut memuat aturan tentang penggeledahan rumah, pakaian, atau badan untuk kepentingan penyidikan.
Peraturan Kapolri
Selain itu, ada pula Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Pada Paragraf 7 Pasal 32 dan 33 Perkap 8/2009, terdapat aturan soal tindakan penggeledahan orang dan tempat atau rumah.
Salah satu bunyi aturannya, petugas wajib memberitahukan kepentingan tindakan penggeledahan secara jelas dan sopan.
Kemudian, petugas wajib menunjukkan surat perintah tugas dan/atau identitas petugas dan melakukan tindakan penggeledahan sesuai dengan teknik dan taktik pemeriksaan untuk kepentingan tugas yang di dalam batas kewenangannya. Petugas pun dilarang melakukan tindakan penggeledahan secara berlebihan dan mengakibatkan terganggunya hak privasi yang digeledah.
Langgar Privasi
Komisioner Kompolnas Poengky Indarti menilai tindakan tersebut tidak dibenarkan dan telah melanggar privasi dengan memaksa periksa ponsel masyarakat. Ia menilai tindakan tersebut tidak dibenarkan dan telah melanggar privasi dengan memaksa periksa ponsel masyarakat. “Tidak dibenarkan untuk memeriksa HP tanpa ada surat perintah. Itu jelas arogan dan melanggar privasi,” kata Poengky saat dikonfirmasi. Poengky menyatakan pemeriksaan ponsel warga tanpa adanya surat perintah juga dinilai melanggar undang-undang. Apalagi, pemeriksaan ponsel warga yang tidak terkait dengan tindakan kejahatan.
“Terkait tindakan anggota kepolisian yang langsung ambil HP milik orang lain tanpa ada dasar hukum dan surat perintah, itu keliru. Bahkan di KUHAP, untuk penyitaan barang yang diduga berkaitan dengan kejahatan saja harus dengan ijin pengadilan,” jelasnya. Ia pun meminta seluruh anggota Polri untuk harus lebih berhati-hati dalam melaksanakan tugas. Ia mengingatkan pelaksanaan tugas harus mengedepankan profesionalitas, sopan santun dan jangan menunjukkan arogansi.
“Polisi itu tugasnya melayani, mengayomi, melindungi masyarakat dan menegakkan hukum guna mewujudkan harkamtibmas. Perlu diingat bahwa para pengawas Polri tidak hanya pengawas internal dan eksternal seperti Kompolnas saja, tetapi di masa kecanggihan teknologi ini, masyarakat dengan gawai pintarnya mampu merekam dan memviralkan, atau menyampaikan kepada media. Jika ada pelanggaran, maka yang dipertaruhkan adalah nama baik institusi. Ibarat karena nila setitik, rusak susu sebelanga,” ujarnya. Karena itu, kata dia, pihaknya menyarankan kasus ini dapat dilaporkan ke Propam Polri. “Saya sarankan lapor ke Propam Presisi agar Propam dapat melakukan pemeriksaan. Polisi di video Tiktok tadi dalam kapasitas apa mengambil HP?,” tukasnya.
Siapa Aipda Ambarita?
Nama Aipda Ambarita biasa dikenal di acara televisi maupun konten media sosial di YouTube. Dia membuat konten terkait kegiatan patroli malam dengan jumlah viewers mencapai jutaan. Di televisi dan YouTube, dia memiliki acara berjudul Tim Raimas Backbone.
Sikapnya yang tegas dan lucu membuat Aipda Ambarita semakin populer. Aipda Ambarita, namanya begitu akrab di telinga pemuda-pemuda Jakarta Timur yang suka tawuran. Menangkap pemuda-pemuda yang akan tawuran adalah pekerjaan sehari-harinya.
Tim yang ia pimpin, Raimas Backbone, bertugas mengurai, membubarkan, menceraiberaikan, dan melokalisasi massa yang melakukan tindakan anarki yang berpotensi mengganggu kamtibmas. Aksi Ambarita yang kemudian menjadi viral itu terjadi saat melakukan operasi keamanan secara acak di kawasan Cipinang, Jakarta Timur. Dalam video viral tersebut, seorang pemuda yang terjaring operasi tersebut awalnya dihampiri oleh Bripka Rustamaji.
Pemuda itu dihentikan karena tidak mengenakan helm. Rustamaji kemudian meminta pemuda itu menyerahkan ponselnya. Sang pemuda sempat menolak saat diminta oleh Rustamaji. Dia beralasan ponsel itu adalah bagian dari privasinya. Dalam perdebatan itu Ambarita datang. Dengan lantang ia justru berkata bahwa polisi punya kewenangan untuk melakukan memeriksa ponsel tersebut. “Biar saya jelasin. Undang-undangnya privasi itu apa sih?” kata Ambarita. “Jangan kau bilang pokoknya, kita adu data. Tugas dan wewenangnya polisi itu apa?” dia terus mencecar pemuda tersebut.
“Tahu kau mengapa kita capek-capek di sini harus punya wewenang? Tahu kau tugas polisi wewenangnya apa?” Ambarita berkata salah satu tugas dan wewenang polisi adalah memeriksa identitas. Ia kemudian menanyakan apa identitas pemuda tersebut.
Sang pemuda menjawab identitasnya adalah KTP. Namun, Ambarita terus mencecarnya. “Enggak dibuat di situ memeriksa KTP, identitas…” “Tahu kau definisi identitas mu apa?” lanjut Ambarita. “Pengenalan diri saya, pak,” balas sang pemuda. “Nah pengenalannya ini,” kata Ambarita sambil memegang ponsel pemuda itu. Ambarita turut menyampaikan bahwa pemeriksaan ponsel ini dilakukan untuk melihat apakah ada rencana aksi tindak pidana yang mungkin dilakukan. “Jangan suka-suka kau bilang ini privasi, kebanyakan nonton film Hollywood kau itu, privasi apa sih ni privasi,” kata Ambarita dalam video itu.
Kesalahan Prosedur
Melihat dari dialog tersebut, terlihat bahwa Ambarita sangat percaya diri dalam menjelaskan tugasnya, namun demikian, Polda Metro Jaya telah mengakui bahwa Ambarita telah melakukan kesalahan prosedur atau SOP. Dengan demikian, Ambarita telah melakukan tugasnya dengan baik namun ada hal yang dilanggar yakni prosedur pemeriksaan identitas tersebut. Dia menafsirkan bahwa identitas itu tidak hanya KTP tetapi termasuk lainnya antara lain HP. Ada benarnya karena HP kini hampir sudah menjadi identitas setiap orang. Namun tentu saja, penafsiran yang dilakukan Ambarita, rawan menjadi perdebatan warga. Dan yang paling benar memang ikuti prosedur kalau pun ada kontroversi diserahkan kepada keputusan pengadilan tentunya.
Prof. Dr. Sukamto Satoto, S.H.,M.Hum dalam artikelnya berjudul Membangun Kemandirian dan Profesionalisme Polisi Republik Indonesia Sebagai Pelindung, Pengayom dan Penegak Hukum menjelaskan bahwa dalam banyak hal Pembangunan kekuatan Polri diarahkan untuk meningkatkan kemampuan operasional satuan kewilayahan, agar mampu memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, serta memelihara kamtibmas dan menegakkan hukum secara profesional.
Strategi Pembangunan Kekuatan Polri
Sejalan dengan kebijakan tersebut, strategi pembangunan kekuatan Polri dilaksanakan melalui langkah-langkah sebagai berikut : Melanjutkan terlaksananya desentralisasi kewenangan operasional dan pembinaan kesatuan kewilayahan, sehingga dapat direalisasikan Polda sebagai kesatuan yang memiliki kewenangan penuh, Polres sebagai basis pelayanan masyarakat, dan Polsek sebagai ujung tombak operasional yang langsung mengendalikan anggotanya di lapangan sebagai pengemban diskresi kepolisian.
Mengembangkan kuantitas anggota Polri untuk mencapai ratio perbandingan Polri dengan penduduk 1:500. Pengembangan jumlah personel Polri tersebut diarahkan untuk mengisi pemekaran satuan-satuan kewilayahan, dan satuan kewilayahan tertentu sesuai dengan tantangan tugas yang dihadapi. Melanjutkan pembangunan satuan kewilayahan, terutama pada tingkat Polres dan Polsek diselaraskan dengan pengembangan administrasi pemerintahan daerah, dan wilayah perbatasan serta perairan. Secara bertahap melanjutkan pembangunan kemampuan fungsi teknis pendukung di satuan-satuan kewilayahan, meliputi: fungsi teknis laboratorium forensik, kedokteran forensik dan identifikasi guna meningkatkan profesionalisme Polri dalam penyidikan.
Menggelar sistem jaringan elektronik E-Polri guna meningkatkan kemampuan operasional, utamanya dalam kecepatan pemberian pelayanan masyarakat, peningkatan keamanan, kecepatan. Menyadari sepenuhnya bahwa keberhasilan berbagai kebijakan dalam rangka membangun Polri yang dipercaya oleh masyarakat, akan sangat tergantung dan dipengaruhi oleh tiga hal. Pertama; Adanya komitmen yang tinggi dari setiap anggota Polri, sehingga proses penyadaran setiap anggota Polri akan tugas, fungsi, peranan dan wewenang adalah merupakankunci pokok utama yang harus dilakukan setiap atasan terhadap bawahannya. Proses internalisasi nilai-nilai Tribrata, Catur Prasetya dan Etika Profesi Kepolisian harus berlangsung secara intens, agar mampu memotivasi dan mengendalikan sikap mental dan
perilaku setiap anggota Polri dalam melaksanakan tugasnya sebagai pelindung, pengayom
dan pelayan masyarakat dalam memelihara keamanan dan menegakkan hukum.
Kedua; Political Will dari pemerintah dan dukungan dari Dewan Perwakilan Rakyat, baik dalam pemenuhan kebutuhan Polri maupun dalam pengawasan, merupakan prasyarat utama, agar program-program Polri yang mendorong perubahan menuju Polri yang profesional semakin mendekati kenyataan. Ketiga; Partisipasi masyarakat dalam menyelenggarakan pemolisian di lingkungannya masing-masing, dan sosial control yang bertanggung jawab sebagai warga masyarakat yang patuh hukum merupakan mitra utama dalam mewujudkan keamanan, ketertiban dan ketenteraman masyarakat.
Efektivitas Sosialisasi
Demikian rinci strategi pembangunan kekuatan Polri ke depan, di atas kertas seyogyanya pelanggaran prosedur atau etik di kalangan internal polri namun pada prakteknya memang bukan tanpa kendala. Sosialisasi prosedur atau SOP, Peraturan perundang-undangan, khususnya UU ITE harus terus dikukan dan ditingkatkan di kalang internal Polri Agar kesalahan prosedur yang dilakukan anggota Polri di lapangan, bisa ditekan seminimal mungkin.
Tidak sedikit pelanggaran bahkan tindak pidana justru dilakukan oleh anggota Polri yang seharusnya sangat mengerti tentang hukum. Belum pelanggaran etika, juga sering tanpa sadar dilakukan petugas Polri. Hal ini dimungkinkan karena, di dalam Peraturan tentang Kode Etik Profesi Polri tidak tersedia penjelasan yang memadai, sehingga mengakibatkan peraturan yang multitafsir, maka perlu adanya penjabaran lebih lanjut dari ahli hukum polri tentang Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian. Kemudian, seringnya terjadi perubahan aturan hukum intern dalam tubuh Polri juga menambah kontribusi lemahnya pemahaman petugas di lapangan akan tugas, tanggung jawab hukum dan etika.
Terlihat dari ras percaya diri Ipda Ambarita yang bersikukuh bahwa yang ada di Undang-undang adalah Identitas secara luas bukan hanya KTP, melainkan termasuk juga HP. Dari kejadian ini, menunjukkan bahwa Polri yang dalam pekerjaanya terus disorot masyarakat, janganlah dipandang sebuah kritik atau komplain sebagai rasa tidak suka terhadap institusi. Itu adalah bentuk perhatian masyarakat terhadap Polri. Namun demikian, masyarakat juga perlu terus menyadari pentingnya menjaga Kamtibmas. Kalau perbuatannya atau tindakannya berpotensi melanggar hukum, sebaiknya segera dihindari atau diurungkan. Intinya adalah Kamtibmas adalah tanggung jawab bersama antara masyarakat, Polri, DPR dan Kompolnas. Dan di era digital seperti sekarang, kontrol masyarakat jauh lebih cepat dan efektif karena masing-masing memiliki akses ke media sosial. Di sinilah tantangannya agar petugas Polri di lapangan agar terus berhati-hati dalam menegakkan hukum. (Saf).
Baca juga : Bertemu Menkum HAM, Kabareskrim Bahas Kerja Sama Penanganan Bantuan Hukum Warga Miskin