Suatu festival lomba mural se-Indonesia yang memperebutkan piala Kapolri adalah sebuah inisiatif atau gebrakan Polri guna memfasilitasi dan mendukung kreativitas seniman muralis dalam mengekspresikan energi ke arah yang positif dan bermanfaat, terutama menghadapi relevansi masalah yang sedang dihadapi oleh bangsa. Isu kebebasan berekspresi yang sentral selama ini mendapat perhatian dan tempat khusus oleh Kapolri dan karena itu lomba semacam ini kemudian lahir. Suatu lomba atau festval di mana negara atau institusi pemerintah hadir diharapkan dapat membuka dialog baru, memacu penyaluran kreativitas dan pencegahan aksi vandalisme terutama di kalangan generasi muda dan utamanya milenial. Membandingkan lomba-lomba kesenian termasuk mural di negara lain menunjukkan bahwa suatu lomba oleh negara tidak harus selalu disanitasikan. Artinya, melihat pengalaman negara-negara lain, karya-karya artistik, kreatif dan masih bisa memberi kritikan tajam terhadap pemerintahnya masih tetap bisa menang asalkan memenuhi syarat-syarat bagi karya seni yang baik. Ini hanya bisa terlaksana bila kurator dan tim penilai diberi kebebasan dan otoritas menurut nilai estetika dan pencapaian suatu karya seni. Dengan cara ini justru prestise suatu perlombaan akan dapat dihargai dan diperhitungkan baik oleh para seniman pengkritiknya maupun yang pendukung pemerintah. Bila penyelenggaraan festival ini berjalan sukses dan dianggap bermutu, tidak saja ia akan memberikan pencitraan yang lebih baik terhadap Korps Bhayangkara namun juga akan ditorehkan dalam sejarah sebagai tonggak perjalanan seni yang penting bagi penciptaan informasi positif dan konstruktif untuk persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Jakarta, 20 Oktober 2021. Akhirnya ide untuk menggelar lomba seni mural yang berhadiah piala Kapolri akan segera dilaksanakan. Menurut penjelasan Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono di Jakarta, Senin (18/10), rencananya lomba ini akan digelar oleh Divisi Hubungan Masyarakat (Humas Polri) pada 30 Oktober 2021 mendatang bertempat di Lapangan Bhayangkara, Jakarta Selatan. Ini adalah lomba bergengsi menyangkut seni mural yang pertama kali dalam sejarah seni di Indonesia karena memperebutkan hadiah utama piala Polri. Selain itu hadiah uangnya pun berjumlah hingga puluhan juta. Bagi karya-karya mural terbaik, total hadiah adalah Rp90 juta.
Lomba mural nasional ini merupakan kerjasama antara Tempo Media Grup dan Polri. Dengan tajuk “Peran Generasi Muda untuk Berkreasi dalam Menyampaikan Informasi yang Positif di Masa Pandemi Covid19”, diharapkan akan muncul karya-karya mural artistik dan kreatif serta mampu menyuarakan pesan-pesan konstruktif mengenai penanggulangan Covid-19 yang sedang dihadapi. Pendaftaran lomba sudah dibuka sejak 27 September lalu hingga 17 Oktober mendatang di tingkat Polda. Untuk tingkat Mabes Polri, lomba itu sendiri akan diadakan pada 30 Oktober. Keterangan lengkap mengenai lomba inipun sudah diinformasikan pada website www.tribratanews.polri.go.id.
Menurut penjelasan Kabagpenum Divisi Humas Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan,kegiatan ini terbuka luas untuk umum. Ada sebanyak 70 peserta yang menjadi perwakilan tiap Polda. Setiap Polda akan memilih 5 peserta terbaik di mana satu peserta terbaik akan diikutsertakan secara nasional. Festival yang berlangsung di Mabes Polri akan dibuka secara langsung oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Konstruktif dan Positif Dari Milenial
Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono menyatakan bahwa acara ini merupakan wadah kebebasan berekspresi dan untuk menyalurkan ide melalui karya seni (mural) serta aspirasi dari masyarakat dalam menghadapi permasalahan masyarakat dalam berbagai sektor. Ia menjadi ajang apresiasi untuk para seniman mural di Indonesia untuk tetap berkarya pada masa pandemi.
“Mari kreasikan ide positif di masa Pandemi dengan mengobarkan semangat kemerdekaan, nasionalisme, dan optimisme lewat seni mural pada Bhayangkara Mural Festival Piala Kapolri 2021.” Sejak ide tentang kompetisi mural ini bergulir dan rencana-rencana penyelenggaraannya diberitakan dengan gencar di media, berbagai respon pun bermunculan baik yang bernada kritik maupun yang mendukung. Menyikapi penyelenggaraan festival yang dipromosikan di mana-mana ini, tidak sedikit netizen di media sosial yang mengkritik tajam dan menganggap rencana ini sebagai usaha kepolisian untuk cuci tangan tangan belaka.
Hal ini tentu saja tidak mengherankan bila dihubungkan dengan kritikan mengenai sikap Polri sebelumnya yang sebenarnya anti terhadap seni mural. Ada yang berpendapat lomba ini arah sebenarnya adalah usaha Polri membersihkan nama baik mereka dan bukan tujuan mengangkat kreativitas seniman mural itu sendiri. Lebih lanjut dipertanyakan alasan mengapa baru diselenggarakan sekarang, ketika banyak kritikan dilayangkan atas tindakan represi terhadap mural yang berbau kritik dengan usaha aparat ramai-ramai menghapusnya.
Dengan diadakannya lomba seperti ini, Polri tampaknya berusaha memperbaiki dan memulihkan citranya bukan sebagai lembaga anti kritik seperti yang banyak dianggap orang dalam masyarakat. Bagi seniman mural sendiri, muncul kekhawatiran bahwa lomba mural yang diprakarsai aparat kepolisian memiliki maksud lain yang tersembunyi yakni melakukan pemetaan dan penelusuran terhadap komunitas seniman mural di Indonesia. Mereka sebelumnya berhasil mengangkat ide dan protes mereka lewat mural-mural yang hadir di ruang publik. Kini mereka khawatir kemungkinan aparat akan menyasar siapa-siapa yang dianggap pengkritik pedas di kota-kota besar sehingga mereka akan mudah dikendalikan.
Kekhawatiran bahwa kekuatan mereka menyuarakan publik sedang dikebiri, terlihat lewat pernyataan anggota DPR yang menyarankan kompetisinya sebaiknya dilaksanakan di tempat yang tertutup dan bukan publik. Menurut anggota Komisi III DPR RI Habiburokhman, lomba seperti ini sesuatu yang baik sebagai respon cepat terhadap polemik penghapusan mural sebelumnya. Namun ia meminta agar dilakukan bukan di lokasi umum karena akan menimbulkan gangguan dan menimbulkan keberatan masyarakat sekitarnya.
Bagi banyak seniman mural, ruang publik justru menjadi kekuatan dimana suatu seni mural yang memiliki pesan politis bisa berfungsi setinggi-tingginya dan seluas-luasnya. Dengan diadakannya di Mabes Polri, bagi sebagian orang menunjukkan upaya mengalihkan energi perlawanan yang dijinakkan. Karenanya tidak mengherankan banyak seniman mural sendiri yang enggan mengikuti lomba ini. Ini soal prinsip, kata seorang seniman mural ternama secara anonimus. Karya saya hanya berarti bila berhasil mengajukan kritikan pedas yang dapat didengar demi perbaikan sosial. Banyak yang menganggap penciptaan karya mural mereka akan sia-sia bila tidak secara jujur hanya demi menunjukkan kepatuhan pada pemerintah yang tidak terbuka atas kritikan.
Seniman dari Anti Tank Project Andrew menganggap lomba seperti tidak memberi kontribusi signifikan bagi perbaikan pemerintahan. Upaya memberi kebebasan berekspresi tidak harus dilakukan lewat acara lomba seremonial seperti ini tapi dengan langkah-langkah nyata agar publik bisa merasa percaya diri dengan performan aparat di lapangan.Lebih jauh dikatakan bahwa kalau lomba ini hanya demi mengakomodasi kepentingan pemerintah, makan ia bisa menjadi indoktrinasi publik yang tidak memberi ruang kebebasan bagi suara yang beragam.
Polemik penghapusan mural
Begitu banyaknya kritikan yang hadir itu sebenarnya lahir dari sikap korps Bhayangkara yang oleh masyarakat dianggap sewenang-wenang ketika menghapus mural di tempat-tempat umum atau publik dengan alasan telah melanggar ketertiban umum.
Waktu itu masyarakat menduga penghapusan itu sebenarnya lebih karena nuansa politik dan sikap alergi terhadap kritikan dari pihak penguasa. Mural-mural yang dihapus aparat dan menjadi viral itu dihapus hanya karena menampilkan sosok wajah mirip Presiden Jokowi. Yang satu mural dengan sosok wajah mirip Jokowi yang matanya ditutupi tulisan 404: Not Found dengan latar merah di Batuceper Tangerang. Mural satu lagi bergambar sosok pria mirip Presiden Jokowi yang muncul di jembatan layang Pasupati Bandung Jawa Barat.
Mural lainnya dihapus karena adanya kritikan bertuliskan ‘Dipaksa Sehat di Negara yang sakit’. Sepertinya karya seni spontan berupa moral ini juga telah serta merta dianggap melawan negara karena menghubungkan isu kesehatan dengan peran buruk negara. Mural ini juga muncul di Bangil, salah satu propinsi dengan pengaruh politik yang besar di Indonesia.
Masyarakat melihat karya yang dihapus itu tidak lebih dari sebagai kreativitas dan bentuk penyuaraan aspirasi masyarakat yang menyegarkan. Tidak semua lapisan masyarakat yang memiliki medium untuk menunjukkan jeritan kesusahan hidup terutama ketika menghadapi pandemi Covid-19. Aparat keamanan seharusnya tidak merepresi tapi mengapresiasi mereka. Secara global, seniman mural juga menggunakan medium seninya untuk memperjuangkan keadilan sosial dan tidak selalu harus direpresi.
Menurut seorang seniman mural, coretan di dinding termasuk yang bernada kritikan jangan dianggap lawan aparat tapi harus disikapi sebagai upaya mengekspresikan diri dan menunjukkan hak seniman untuk menyuarakan hati maupun penyambung suara rakyat yang tidak selama ini sulit didengar oleh pemimpin di atas.
Warisan negatif masa lalu
Peran dan ketakutan negara dan aparat akhir-akhir ini terhadap karya mural khususnya Indonesia sebenarnya bukan barang baru. Sejarah menunjukkan mural sudah ada dan berkembang jauh di masa kolonial. Seni mural memperoleh momentumnya kala menjadi simbol perjuangan untuk melawan kolonial di masa awal kemerdekaan.
Berdasarkan penelitian sejarawan Harry A Poeze, pada September 1945, tokoh pergerakan Tan Malaka telah diminta oleh Ahmad subardjo agar membantu perjuangan revolusi Indonesia lewat slogan-slogan yang ditorehkan lewat mural yang digambar pada tembok-tembok bertemakan ‘Pemerintah dari Rakyat, untuk Rakyat, dan oleh Rakyat’. Tujuannya tiada lain agar moral, semangat juang dan perlawanan terhadap musuh Republik dapat dipompakan dan digalakkan. Fungsi seperti itu bukan hanya milik Indonesia saja tapi juga di banyak tempat di dunia ketika menghadapi dekolonialisme.
Alasan utama adalah media yang tersedia untuk menyuarakan aspirasi kurang Jadi ia menjadi salah satu cara efektif untuk protes yang provokatif agar berhasil mengubah situasi buruk. Inilah saat di mana seni mural mulai mendapatkan arti khusus dan sekaligus ditakuti perannya. Pendeknya, seni mural telah menjadi elemen yang membanggakan dalam sejarah perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme Belanda. Seniman-seniman mural yang kreatif dan nasionalis rela berhadapan dengan represi pemerintah Kolonial yang terusik dengan kemunculan mural-mural bertenaga itu.
Dalam perkembangan selanjutnya hingga akhir tahun 1990-an, mural di Indonesia telah menjadi karya seni yang menghasi kota-kota besar. Di belahan lain dunia, seni mural yang artistik dan unik malahan dihargai dan menjadi daya tarik tersediri untuk destinasi pariwisata. Kritikan sosial dalam seni mural juga menjadi tren, yakni ketika ia menjadi wadah mengasah kemampuan seniman untuk mewakili masyarakat di mana mereka tinggal. Mural yang dipasang pada posisi strategis bisa berdampak besar. Ia dipercaya menjadi bagian identitas tempat tersebut. Ia juga menunjukkan kemahiran dan seni artistik senimannya. Sesudah Reformasi keterbukaan dan demokratisasi telah membuka mata seniman untuk juga menyuarakan pendapat-pendapat mereka mengenai situasi sosial dan politik.
Membuka Dialog Konstruktif
Namun harus diakui bahwa orang Indonesia pada umumnya memang sebenarnya masih alergi terhadap kritik dan suka menunggangi hal-hal yang viral untuk membuat kegaduhan. Selain itu untuk menghargai suatu seni diperlukan tingkat intelektualitas dan edukasi tertentu agar mengerti mengenai karya seni yang penuh multitafsir. Sepanjang masyarakatnya belum terbuka dengan kritik maka perlakuan pada mural yang dihargai hanya pada level tertentu dan pastinya bukan yang mengkritik seseorang atau golongan yang berkuasa. Demikian pendapat Profesor David Reeve dari UNSW.
Adalah sangat menyegarkan munculnya sikap Presiden Jokowi yang menegur Kapolri agar tidak reaktif suara kritikan terhadap pemerintah yang direfleksikan lewat karya mural tersebut. Sikap keras aparat kepolisian ini ditanggapi oleh Presiden dengan menegur Kapolri agar tidak reaktif suara kritikan terhadap pemerintah yang direfleksikan lewat karya mural tersebut. Teguran itu disampaikan Presiden ketika melakukan pertemuan dengan sejumlah pemimpin redaksi media di Istana kepresidenan 15/9 yang lalu.
Berdasarkan penyelidikan Polri ternyata penghapusan mural itu bukan perintah dari Kapolri sendiri melainkan inisiatif petugas di lapangan. Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto (19/8) juga menilai bahwa kritikan yang diajukan kepada pemeirntah bukan masalah di negara demokrasi namun masyarakat tidak boleh menyebarkan fitnah atau hal-hal yang memnahayakan kesatuan bangsa. Kalau intoleran harus ditangani Polisi. Ia juga mengingatkan bahwa kasus moral isa saja diusut pihak kepolisian bila yang menjadi korban melaporkannya.
Pemerintah menyadari bahwa wacana mural muncul sebagai medium agar suara aspirasi politik dapat lebih didengarkan ketika mereka menghadapi masalah sosial lebih-lebih karena pandemi. Bila ia direpresi maka pemerintah melakukan represi serupa seperti pada masa kolonial ketika Indonesia sedang menyokong nasionalisme dan merebut kemerdekaannya. Menindaklanjuti respon Presiden dan instruksi Kapolri, pihak jajaran Polri pun diminta agar tidak anti kritik dari masyarakat dan seharusnya melakukan introspeksi diri ketimbang melakukan represi. Polri diminta tetap mampu menjadi lembaga terbuka, berdiri sebagai pelindung rakyat dan bersedia menerima masukan-masukan dari masyarakat termasuk kritikan.
Harapan Besar
Suatu festival lomba mural se Indonesia yang memperebutkan piala Kapolri tampaknya menjanjikan. Banyak yang melihat upaya ini sebagai sebuah inisiatif atau gebrakan Polri guna memfasilitasi dan mendukung kreativitas para seniman muralis untuk mengekspresikan energi mereka ke arah yang lebih positif dan bermanfaat. Mereka juga dituntut bisa turut serta memberi kontribusi menghadapi relevansi yang sedang dihadapi bangsa.
Isu kebebasan berekspresi yang sentral selama ini dengan demikian mendapat perhatian dan tempat khusus ketika Kapolri memprakarsai lomba semacam ini. Suatu lomba atau festval di mana negara atau institusi hadir diharapkan dapat membuka dialog baru, memacu penyaluran kreativitas dan pencegahan aksi vandalisme terutama di generasi muda, yang utamanya jelas kaum milenial. Sebagai penerus bangsa kaum milenial memang perlu difasilitasi dan diakomodir aspek-aspek positif mereka.
Harapan masyarakat agar lomba semacam ini benar-benar memberi aspek kemajuan bagi seni mural sesungguhnya harus didengarkan.Membandingkan lomba-lomba kesenian termasuk seni mural di negara lain menunjukkan bahwa suatu lomba yang diselenggarakan oleh negara tidak harus selalu disanitasikan. Artinya, dengan melihat pengalaman negara-negara lain, karya-karya yang artistik, kreatif dan memberi kritikan tajam meski terhadap pemerintahnya msih tetap bisa dimenangkan bila memenuhi syarat-syarat bagi karya seni yang baik. Hal itu hanya bisa terlaksana bila kurator dan tim penilai diberi kebebasan dan otoritas sesuai nilai estetika dan pencapaian. Dengan cara ini justru prestise dari perlombaan ini akan jauh dihargai dan diperhitungkan baik oleh para seniman pengkritik maupun para pendukung pemerintah.
Bila penyelenggaraan festival ini berjalan sukses dan dianggap bermutu, tidak saja ia akan memberikan pencitraan yang lebih baik bagi Korps Bhayangkara namun juga akan dapat ditorehkan dalam sejarah sebagai tonggak perjalanan seni yang penting bagi penciptaan informasi positif dan konstruktif demi persatuan dan kesatuan bangsa di masa depan. (Isk – dari berbagai sumber)
Baca juga : Kekerasan Polisi dan Pencegahannya Dalam Perspektif Sejarah