Reformasi 1998 ialah tonggak awal pengakuan HAM di Indonesia. Sistem ketatanegaraan dan hukum Indonesia kini telah mengadopsi prinsip-prinsip HAM. Inilah salah satu kisah sukses gerakan Reformasi. Negara pasca-Orde Baru diharapkan akan bersikap lebih positif terhadap kondisi HAM.
Jakarta – (17/09/2021). Meski Reformasi sudah berjalan selama lebih dari 20 tahun setelah runtuhnya Orde Baru, namun ternyata, hingga saat ini, belum membuahkan perubahan yang cukup siginifikan dalam rangka perjuangan demokrasi dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM), diantaranya menyangkut kebebasan pers, kebebasan berekspresi dan berpendapat, kebebasan berserikat dan berkumpul, serta hak memperoleh informasi.
Demikian kesimpulan yang dipublikasikan oleh Institute of Criminal Justice Reform (ICJR) dalamlaman resminya. ICJR mencatat terdapat 4 hal yang menjadi gambaran bahwa pemenuhan hak asasi manusia (HAM) dalam bingkai kebebasan pers, kebebasan berekspresi dan berpendapat, kebebasan berserikat dan berkumpul, serta hak memperoleh informasi masih butuh pemenuhan dan perlindungan yang utuh dan menyeluruh. Keempat catatan tersebut yaitu:
Kebebasan Pers
Pertama, terkait kebebasan pers, reformasi 1998 tidak membawa angin perubahan dan perlindungan terhadap kerja-kerja pers di Indonesia. Meskipun terdapat UU Pers, namun kelemahan perlindungan pers masih terlihat dari banyaknya kekerasan terhadap jurnalis baik itu secara fisik atau non fisik. LBH Pers dari tahun 2003 sampai akhir 2017 setidaknya mencatat ada 732 kasus kekerasan kepada jurnalis baik itu fisik maupun non fisik. Menurut LBH Pers, terdapat 2 faktor yang mengakibatkan kasus kekerasan terhadap jurnalis akan terus berulang, yaitu Pihak jurnalis sudah melakukan pelaporan kepada pihak kepolisian, namun penyelesaianya lama bahkan terkesan tidak ada tindak lanjut dan pihak jurnalis atau perusahaan medianya memilih mendiamkan dan tidak mau berurusan dengan proses hukum.
Belum lagi, masih terdapat pembatasan-pembatasan hak atas informasi di Papua seperti Kasus kekerasan jurnalis lokal maupun pelarangan peliputan jurnalis asing. Frekuensi publik masih disalahgunakan untuk kepentingan partai politik, kelompok maupun pribadi tertentu. Isi siaran yang masih menayangkan kekerasan, tidak sensitif gender maupun tidak ramah anak. Isi siaran TV sangat Jakartasentris. Sistem siaran jaringan (SSJ) tidak dilaksanakan dengan benar. Serta, kepemilikan stasiun TV yang mengindikasikan pelanggaran UU Penyiaran no 32/2002.
Kebebasan Berekspresi
Kedua, terkait kebebasan berekspresi dan berpendapat di Indonesia yang masih menunjukkan masa suram pasca 20 tahun reformasi. Tindak pidana Cyber Crime di Indonesia pada tahun 2016 terdapat peningkatan kasus tindak pidana penghinaan sebanyak hampir 2 kali lipat (Tahun 2016 = 708 laporan) dibandingkan tahun sebelumnya (Tahun 2015 = 485 laporan). Lalu, setidaknya ada 49 kasus di 2017 yang dilaporkan dengan menggunakan UU (Undang-Undang) Informasi dan Transaksi Elektronik. Selain itu, terdapat beberapa ketentuan yang digunakan untuk mengekang kebebasan berpendapat warga negara, yaitu pasal-pasal penyebaran ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme yang tertuang dalam UU No 27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP terkait dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara, pasal makar yang justru menyasar kepada ekspresi politik, penodaan agama, penodaan agama yang marak digunakan pada selang 2 tahun belakangan, dan juga pengesahan UU MD3.
Di sisi lain, terdapat ketentuan-ketentuan yang akan mengancam kebebasan sipil dari Rancangan UU yang diajukan oleh Pemerintah dan DPR. Salah satu yang paling mengerikan adalah RKUHP yang saat ini sedang dibahas. Pertama, tentang kejahatan ideologi negara yang masih multitafsir dan samar. Kedua, mengenai tindak pidana penghinaan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden yang dalam KUHP telah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 tidak mempunyai kekuatan mengikat lagi. Ketiga, terkait dengan penghinaan terhadap pemerintah yang sah atau biasa disebut haatzaai artikelen, yang juga dalam KUHP telah didekriminalisasi oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 17 Juni 2017. Keempat, BAB VI tentang Tindak Pidana Terhadap Proses Peradilan, atau lazim disebut Contemp of Court (CoC) dimana larangan untuk mempublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan yang diatur dalam pasal 305 huruf E tidak ada ukuran yang jelas serta indikator yang terukur. Kelima, terkait dengan delik penghinaan, yang meningkatnya ancaman pidana dan ketiadaan alasan pembenar yang cukup.
Hal-hal di atas jelas akan mengancam penghormatan dan perlindungan hak – hak dan kebebasan berekspresi dari warga negara. Pada 2017, Badan Pusat Statistik merilis indeks demokrasi Indonesia yang menilai bahwa indeks demokrasi Indonesia mengalami penurunan. Penurunan indeks demokrasi yang dinyatakan oleh pemerintah merupakan peringatan dini tentang upaya pemenuhan, perlindungan, dan pemajuan hak asasi manusia di Indonesia.
Kebebasan Berkumpul
Catatan ICJR penting lainnya adalah hal yang ketiga, terkait kebebasan berkumpul. Berdasarkan hasil pantauan media oleh ICJR, sepanjang 2017 setidaknya ditemukan 12 kasus tindakan pembubaran acara berkumpul warga negara. Kedua belas kasus tersebut dilakukan baik oleh aparat penegak hukum, dalam hal ini Kepolisian, maupun oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan. Selain itu, desakan kepada pemerintah agar memenuhi prosedur hukum sebagaimana diatur oleh UU No. 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, atas rencana pembubaran sejumlah organisasi, justru direspon berbeda.
Alih-alih mengambil tindakan hukum melalui proses peradilan, pemerintah malah mengeluarkan Perppu No. 2/2017 tentang Perubahan UU No. 17/2013 tentang Ormas yang telah disahkan juga oleh DPR RI menjadi UU No. 16 Tahun 2017, untuk melegitimasi tindakan pembubaran sejumlah organisasi, dengan menghapus sejumlah ketentuan di dalam UU Ormas. Tentu ini menjadi satu catatan kemunduran dalam perjalanan hampir dua dekade demokrasi kita.
Hak atas Informasi
Adapun catatatan terakhir yakni yang Keempat, hak atas informasi, untuk menjamin pemenuhan atas perolehan informasi untuk masyarakat terkait informasi publik, pemerintah bersama DPR mengesahkan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Di dalam UU memang telah diatur kategorisasi-kategorisasi informasi tersebut namun pada prakteknya terjadi kesumiran bahkan inkonsistensi oleh Badan Publik untuk menyediakan dan memberikan informasi yang sudah sangat jelas informasi tersebut kategori informasi publik yang dapat diperoleh masyarakat.
Kesumiran dan inkonsistensi tersebut dapat dilihat pada proses uji konsekuensi terhadap suatu informasi. Selain itu proses uji konsekuensi juga tidak didukung oleh pedoman teknis yang memadai. Hal tersebut tentu berdampak dalam penghambatan dan bahkan melanggar proses perlindungan hak memperoleh informasi masyarakat. Saat ini terdapat informasi bahwa pihak Sekretariat Negara telah melakukan uji konsekuensi terhadap draft/naskah Rancangan Undang-Undang yang bertujuan agar naskah RUU tersebut dikategorisasikan menjadi informasi yang dikecualikan.
Kasus Pembunuhan Munir
Di sisi lain, permohonan permintaan dokumen hasil Tim Pencari Fakta Kasus Pembunuhan Munir yang dikabulkan oleh Hakim Ajudikasi KIP yang menyatakan Dokumen TPF Munir termasuk informasi publik dan wajib diserahkan kepada masyarakat justru direspon berbeda oleh pemerintah. Pihak pemerintah berdalih bahwa dokumen tersebut telah hilang sehingga tidak dpaat diserahkan.
Hal tersebut menunjukkan bahwa tindakan pemerintah tersebut tidak hanya menghambat pemenuhan hak atas informasi masyarakat tapi juga menghambat upaya penegakan hukum yang menjadi kepentingan masyarakat. Selain itu, terdapat beberapa kasus pengungkapan praktik korupsi yang dilakukan oleh whistle blower di berbagai daerah namun realitanya bukannya dilindungi justru menjadi sasaran pelaporan balik bahkan terjerat sendiri dengan kasus korupsi yang dilaporkannya. Seperti contoh kasus Daud Ndakularak dan Stanly Handry Ering.
Undang-undang Subversi
Subversi merujuk kepada salah satu upaya pemberontakan dalam merobohkan struktur kekuasaan termasuk negara. Dalam bahasa Latin berarti, asal, awalnya tersebut berlaku untuk beragam aktivitas sebagai kemenangan secara militer dalam perebutan kekuasaan negara.
Pada awal abad ke 14, subversi digunakan dalam bahasa Inggris dalam kaitannya dengan pembentukan perundang-undangan kemudian pada abad 15 pernah digunakan terhadap kekuasaan kerajaan. Kata subversi diambil alih dari kata ‘hasutan’ sebagai nama untuk pemberontakan yang dilakukan secara tersembunyi atau terselubung, walaupun konotasi dari dua kata yang agak berbeda, karena, subversi dilakukan secara terbuka atau terang-terangan dengan menyatakan serangan kepada objek lembaga atau kekuasaan dasar hukum negara sedangkan hasutan lebih pada tindakan penghancuran target objek pada sasaran secara tersembunyi dan dengan melakukan penghancuran yang dilakukan secara tersamar dari dalam, seperti tindakan pemberontakan pada dasar hukum negara atau asas hukum dalam sebuah negara atau pengaturan terhadap masyarakat lain. Dalam peperangan Subversi adalah bagian penting dari propaganda.
Di Indonesia pada masa Orde Baru, Undang-undang Nomor 11/PnPs/Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi bertentangan dengan hak asasi manusia dan prinsip negara yang berdasarkan atas hukum serta menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga dalam penerapannya menimbulkan ketidakadilan dan keresahan di dalam masyarakat. Ini sudah banyak menelah korban.
Atas dasar pertimbangan tersebut, pemerintah pasca reformasi membentuk Undang-undang tentang Pencabutan Undang-undang Nomor 11/PnPs/Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Dasar hukum undang-undang ini adalah : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
Dalam Undang-Undang ini diatur tentang : pencabutan Undang-undang Nomor 11/PnPs/Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Pencabutan UU tersebut adalah UU NO. 26, LN 1999 / NO. 73, TLN. NO. 3849, LL SETKAB.
Pasal Makar Untuk ‘Bungkam Kebebasan Berpendapat’?
Sri Bintang Pamungkas adalah salah satu tokoh yang pernah dipenjara di era pemerintahan Presiden Suharto atas tuduhan subversif. Suara Ernalia, istri Sri Bintang Pamungkas, beberapa kali terdengar tercekat. Dia berupaya menjelaskan duduk perkara penangkapan suaminya, tanpa larut dalam kesedihan.
Sudah dua malam Sri Bintang Pamungkas menghabiskan waktu sebagai tahanan kepolisian sejak dibawa dari rumahnya di bilangan Cibubur, Jakarta Timur. Sri Bintang adalah salah satu dari 11 orang yang ditangkap dan dijadikan tersangka oleh kepolisian menjelang doa bersama di kawasan Monas.
“Waktu awal-awal, ketika dibawa ke Markas Brimob, saya tidak dikasih surat apapun. Minta tidak dikasih. Mau foto kopi tidak boleh, difoto menggunakan ponsel juga tidak boleh. Kemarin saya sudah lihat surat penahanannya setelah dibawa ke Polda. Tuduhannya makar, Pasal 107 KUHP,” kata Ernalia.
Ernalia mengutarakan bahwa tuduhan kepolisian terhadap suaminya didasari oleh pertemuan dengan sejumlah tokoh di sebuah hotel. Tapi, menurut Ernalia, Sri Bintang tidak menghadiri pertemuan itu. “Kemudian (tuduhan) dialihkan ke waktu (Sri Bintang Pamungkas) ada di orasi di penggusuran,” kata Ernalia. Dalam rekaman video di media Youtube, tampak mantan politikus PPP itu berorasi di bawah jalan tol. Saat itu dia mengatakan bahwa kaum kaya semestinya diberikan pajak tinggi, lalu hasilnya disalurkan ke fakir miskin.
“Pemerintah kita sejak zamannya Suharto sampai hari ini tidak melakukan itu. Apa yang bisa saya simpulkan dari situ? Mereka jahat…Ya harus diturunkan, harus dijatuhkan. Inilah yang perlu kita lakukan pada presiden-presiden yang jahat ini, termasuk Jokowi,” kata Sri Bintang Pamungkas.
Kasus Doa Bersama
Kepolisian menyatakan sebanyak delapan orang diduga melakukan makar dengan berupaya menggiring para peserta doa bersama di kawasan Silang Monas, 2 Desember lalu, untuk menguasai gedung DPR/MPR.
Secara terpisah, Ratna Sarumpaet salah satu terduga, menuding Polri ingin tergesa-gesa menangkap dan menjadikannya sebagai tersangka tapi tidak siap dengan unsur-unsur bukti. “Katanya sudah terpenuhi unsur-unsurnya. Unsur yang mana?” tanya Ratna. Yusril Ihza Mahendra, selaku kuasa hukum Ratna dan Rachmawati Sukarnoputri saat itu, mengatakan apa yang dilakukan kliennya hanyalah sebatas kritikan terhadap pemerintah.
“Kalau sampai pelaksanaan makar, masih jauh. Dan bahwa mereka mengadakan rapat-rapat, pertemuan, mengkritik pemerintah, itu normal-normal saja,” kata Yusril Ihza Mahendra.
Perbedaan Kritik dan Makar
Mantan Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Boy Rafli Amar saat itu, menepis klaim bahwa yang dilakukan 11 orang adalah murni kritik terhadap pemerintah. “Apakah di alam demokrasi ini tidak boleh orang mengkritik? Ini bukan kritikan. Kritik dengan makar berbeda,” tegas Boy.
Boy mengklaim kepolisian telah mengantongi beragam bukti yang memberatkan 11 tersangka, termasuk tulisan tangan dan hasil pemantauan percakapan. “Dugaan ini berkaitan adanya rencana pemanfaatan massa untuk menduduki kantor DPR RI, kemudian berencana melakukan pemaksaan agar bisa dilakukannya sidang istimewa untuk menuntut pergantian pemerintahan dan seterusnya,” kata Boy.
Boy menegaskan bahwa penangkapan tidak perlu menunggu sampai upaya makar telah terjadi. “Ketika terdeteksi adanya niatan itu, inilah yang dimainkan kepolisian.”
Tafsir penguasa
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Alghiffari Aqsa, mengatakan bahwa pasal makar dalam KUHP telah digunakan sejak era Orde Baru sebagai alat untuk membungkam kebebasan berekspresi.
“Pasal makar itu tergantung dari definisi ataupun tafsir penguasa. Seringkali orang dituduh makar karena ekspresinya meminta pemerintah untuk turun atau menyampaikan ekspresi ketidakpuasan terhadap pemerintah. Penerapan pasal itu tidak tepat, melanggar kebebasan berekspresi,” kata Alghiffari. Pasal makar, tambahnya, bisa saja digunakan apabila memang ada bukti-bukti yang memadai. “Jika ada bukti-bukti menggulingkan pemerintahan, dalam artian ada kekerasan di dalamnya, ada upaya untuk melakukan sabotase, ada upaya untuk membuat kaos. Tapi apakah orang-orang yang ditangkap punya kemampuan itu?”
Menurut ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia, Eva Ahyani Djulfa, hal yang bisa mengategorikan suatu perbuatan sebagai makar berdasarkan pasal 87 KUHP adalah niat dan permulaan pelaksanaan. Karena niat adalah sesuatu yang abstrak, maka aparat hukum bisa memandangnya menggunakan sudut pandang subjektif. “Jadi segala tindakan yang menggambarkan tentang niat, itu sudah dianggap sebagai permulaan pelaksanaan,” kata Eva.
Namun, ada sudut pandang objektif yang juga bisa dipakai dari sisi hukum. Sudut pandang ini menimbang kemampuan seseorang atau suatu pihak untuk mewujudkan tindakan makar. “Kedua sudut pandang ini bisa sama-sama digunakan. Hanya saja, tergantung dari penegak hukum,” tutup Eva.
Pada Jumat 2 Desember 2016, sebanyak delapan orang ditangkap atas dugaan pemufakatan makar yakni eks Staf Ahli Panglima TNI Brigjen (Purn) Adityawarman Thaha, mantan Kepala Staf Kostrad Mayjen (Purn) Kivlan Zein, Ketua Solidaritas Sahabat Cendana Firza Huzein.
Turut ditangkap aktivis politik Ratna Sarumpaet, calon wakil Bupati Bekasi Ahmad Dhani, putri presiden pertama Presiden Soekarno, Rachmawati Soerkarnoputri, Sri Bintang Pamungkas dan Eko. Ada pula dua orang yang ditangkap dan dijerat Pasal 28 Undang-Undang ITE yakni Jamran dan Rizal Kobar.
Perlu UU Subversi untuk Terorisme
Mantan Panglima Komando Pengendalian Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), Soedomo, menilai undang-undang subversi perlu diterapkan lagi guna menyikapi berbagai tindak teroris seperti pengeboman di Legian, Kuta, Bali. Pasalnya, aksi terorisme di Indonesia sudah terjadi berulang kali dan belum ada perangkat hukum yang bersifat preventif.
“Masa pemberlakuan undang-undang subversif dahulu satu tahun, tapi aman seluruhnya dan tidak ada masalah. Jadi, sekarang diperlukan undang-undang itu,” kata Soedomo usai.
Meskipun berbagai kalangan beranggapan bahwa undang-undang subversif itu bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia, Soedomo justru mengatakan bahwa ratusan orang telah tewas. Hal tersebut terjadi akibat tidak adanya perangkat hukum yang berwenang mengambil tindakan pencegahan setelah undang-undang subversif itu dicabut menyusul tumbangnya orde baru.
Soedomo juga mengatakan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) anti terorisme yang baru dikeluarkan pemerintah belum jadi perangkat yang cukup untuk mencegah terorisme. Alasannya, perpu itu hanya berwenang untuk menangkap, sementara ketentuan lain mengenai tindakan terorisme yang dilakukan tidak dicantumkan.
Soedomo kemudian memberikan contoh tentang Internal Security Act (IFA) yang diterapkan di Malaysia dan Singapura. Dengan IFA, pihak yang hanya menghasut pun bisa ditangkap dan tanpa pengadilan ditahan dua tahun.
Kedua negara tersebut, katanya, juga menerapkan preventif power for detention atau kekuatan preventif untuk melakukan penangkapan. Kendati tidak demokratis, mantan Menteri Tenaga Kerja ini menilai bahwa kedua perangkat hukum di negeri tetangga itu justru mengedepankan persoalan keamanan. Menurut Soedomo, persoalan keamanan di Indonesia adalah hal yang utama karena bisa menciptakan kondisi yang kondusif dimana setiap orang merasa aman dari bahaya dan tidak merasa takut. “Kalau tidak ada situasi ini, bagaimana kita membangun,” ujar dia.
Begitulah keadaan situasi yang masih aktual sampai hari ini. Sebagai bangsa, tentu kita ingin yang terbaik bagi kemaslahatan bangsa dan negara. Masalah perbedaan tafsir, tentu bisa diselesaikan dengan baik di persidangan. Kebebasan berekspresi dan pelanggaran pidana tentu dua hal yang berbeda. Mari kita pikirkan secara bijaksana. (Saf).
Baca juga : Polri Tegaskan Tak Anti Kritik, Akan di Terima Sebagai Bentuk Evaluasi Kinerja